Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai bukan lagi menjadi isu bergulir di tengah masyarakat. Namun telah menjadi ketetapan Pemerintah yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021. Dalam UU ini, pemerintah akan meningkatkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen di tahun 2025. Kenaikan PPN ini menimbulkan sejumlah anggapan baik sisi pro maupun kontra.
Pada sisi pro, kenaikan PPN dapat mendukung peningkatan penerimaan negara yang sebelumnya sempat mengalami guncangan akibat Pandemi covid-19. Dengan peningkatan penerimaan negara ini, APBN dapat lebih fleksibel karena pemerintah mempunyai cukup anggaran untuk membiayai program pemerintah yang sedang berjalan.
Lebih lanjut, peningkatan PPN dirasa sebagai strategi pemerintah untuk mendukung keberlanjutan fiskal melalui terjaganya keseimbangan primer. Hal ini mampu mengurangi ketergantungan terhadap utang dan menurunkan beban utang karena pemerintah masih mempunyai porsi anggaran untuk membayar beban utang tanpa perlu menerbitkan utang kembali. Hal ini tentu dapat terjadi apabila pengeluaran pemerintah dapat ditekan lebih efisien.
Eksistensi Laffer Curve: Pelemahan Daya Beli Masyarakat dan Produktivitas Industri
Dalam praktik peningkatan PPN, pemerintah juga dihadapkan pada kemungkinan lain yaitu penurunan penerimaan negara karena melemahnya daya beli masyarakat. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai laffer curve. Sebuah kondisi dimana peningkatan pajak tidak lagi meningkatkan penerimaan justru malah mengurangi penerimaan. Hal ini sekaligus menjadi argumen sisi kontra yang mempertanyakan peningkatan pajak ditengah kelesuan ekonomi masyarakat.
Kondisi Laffer Curve diyakini telah terjadi di tahun 2023 setelah pemerintah mengumumkan kenaikan PPN 11 persen di April 2022. Penerimaan negara yang diperoleh negara memang menunjukkan pertumbuhan secara nominal dari 638 T menjadi 731 T. Namun kenaikan ini melambat hanya 14 persen jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang meningkat 23 persen. Kemudian di tahun 2024 per bulan oktober penerimaan PPN baru menerima 620 T atau hanya tumbuh 7.87 persen yoy (CNBC Indonesia, 2024). Dapat diprediksi hingga akhir tahun 2024 penerimaan PPN tumbuh melambat dibandingkan periode sebelumnya.
Kondisi yang demikian mencerminkan bahwa kenaikan pajak tidak sejalan dengan dukungan daya beli masyarakat terlebih dalam periode 2021-pertengahan 2024 suku bunga BI cenderung ketat. Hal ini tentu cenderung membuat masyarakat beralih untuk menabung dibandingkan membelanjakannya. Secara bersamaan kondisi ini mengarah pada paradoks tabungan yang mana semakin tinggi tingkat tabungan yang disertai dengan rendahnya penyaluran kredit akan berdampak pada melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Sederet dampak lainnya mengarah pada kinerja industri, peningkatan PPN 12 persen mengurangi omzet yang diterima oleh perusahaan mengingat sebagian omzet penjualan digunakan untuk menanggung beban pajak. Hal ini juga berbuntut panjang pada permintaan tenaga kerja yang berkurang terlebih pada industri yang terdampak pada tekanan perekonomian global. Menurut Menteri Ketenagakerjaan hingga oktober 2024 sebanyak 59.796 orang mengalami PHK atau mengalami peningkatan sebanyak 25.000 orang dalam tiga bulan terakhir (Antara, 4 November 2024).
Peningkatan PPN 12 persen diyakini membawa dampak pada perlambatan ekonomi dimana konsumsi akan cenderung terkontraksi. Hal ini berkaca pada data konsumsi rumah tangga tahun 2022 Q1 sebesar 4.93 yoy atau melambat dibandingkan periode tahun 2021 Q2 yang tumbuh sebesar 5.22 yoy. Selain itu Inflasi tentu mengalami peningkatan pada sisi dorongan biaya (cost push inflation) karena industri cenderung ingin mempertahankan laba dengan cara meningkatkan harga jual produknya. Cara ini dilakukan sebagai bentuk kompensasi atas PPN yang meningkat.