Mengurai Manggarai : Pasca-Switch Over ke 5 Manggarai (SO 5)
Pemberlakuan Switch Over (SO) ke-5 di Stasiun Manggarai yang sudah dimulai sejak 28 Mei 2022 lalu mengundang banyak komentar dari penumpang (KAI menyebutnya sebagai pelanggan). Sebagai salah satu pelanggan yang terdampak, karena sehari-hari komuter dari Bekasi ke Juanda (JUA), Saya coba berbagi pengalaman layanan Commuter Line tersebut secara objektif. Tidak lain dan tidak bukan, untuk menjadi bahan masukan dan evaluasi bagi operator Commuter Line.
Sebagai disclaimer, perjalanan Saya sebelum SO5 hanya memakan waktu 40-50 menit dari BKS ke JUA begitupun sebaliknya. Perjalanan agak terhambat biasanya hanya di petak antara Jatinegara (JNG) dengan Manggarai (MRI) dan antara Gondangdia (GDD) dengan lintas Stasiun Gambir (GMR). Pemberhentian di stasiun terlama adalah di MRI, menurunkan pelanggan serta antre masuk lintasan layang antara MRI dengan JAKK (Jakarta Kota). Jumlah pelanggan dari BKS yang transit di MRI memang cukup besar, tak heran PT KCI (Kereta Commuter Indonesia) memutuskan untuk mengadopsi SO5 di MRI yang diproyeksikan mampu menampung dua juta orang per hari di masa depan.
Pascapemberlakuan SO5, Saya beberapa kali mencatat waktu perjalanan (time trip report) secara acak dan dilakukan pada jam sibuk (berangkat dan pulang kerja). Hasilnya, keberangkatan Commuter Line (CL) 17 Juni 2022 dari BKS pukul 06.54 WIB membawa Saya sampai di JUD pada pukul 07.52 WIB (termasuk transit 12 menit di MRI), atau total perjalanan 58 menit lamanya (rincian terlampir).Â
Sebaliknya, keberangkatan dari JUD pukul 17.13 WIB mengantarkan Saya tepat pukul 18.12 WIB di BKS (termasuk transit dan pergantian kereta yang berangkat lebih dahulu dari Cakung/CUK), sehingga total perjalanan 59 menit atau 1 jam 3 menit jika Saya tidak berganti kereta di CUK (rincian terlampir).
PT KCI sebenarnya memberikan rute alternatif bagi pelanggan komuter yang berasal dari stasiun layang (Cikini/CKI sampai dengan Jayakarta/JAY) menuju ke Bekasi guna menghindari kepadatan di MRI. Rute tersebut adalah menuju ke JAKK, lalu transit di JAKK untuk menuju ke KPB (Kampung Bandan), kemudian turun di KPB untuk naik relasi ke BKS. Sebuah rute memutar nan melelahkan yang membuat perjalanan jadi lebih lama.
Begitupun sebaliknya, bagi mereka yang dari BKS dapat naik CL pola full racket sampai KPB, kemudian menunggu CL dari Tanjung Priok (TPK) untuk menuju JAKK, untuk kemudian berganti kereta menuju Bogor (BOO).
Saya mencatatkan rekor pribadi untuk perjalanan pergi pulang dengan jalur alternatif ini. Keberangkatan Saya dari BKS ke JUD memakan waktu 73 menit (1 jam 13 menit termasuk transit), sedangkan kepulangan Saya dari JUD ke BKS pada sore harinya menghabiskan waktu lebih lama, 96 menit (1 jam 36 menit termasuk transit).
Tentu PT KCI memiliki pertimbangan ketika memutuskan untuk SO5, bahkan konon kajiannya sudah dilakukan sejak tahun 2015 (semoga masih relevan). Rencana menjadikan MRI sebagai hub bagi kereta api komuter dan antarkota di Jakarta tentu sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Pun demikian, Saya menyampaikan beberapa masukan untuk optimalisasi Stasiun Manggarai pasca-SO5 diberlakukan, diantaranya:
- Tata letak peron tempat transit tidak cukup luas untuk menampung pelanggan yang hilir mudik pada jam sibuk. Terlebih pilar-pilarnya menghalangi pelanggan yang seringkali saling bertemu dan melawan arus untuk naik/turun tangga dan eskalator. Insiden jatuhnya pelanggan ke bawah/area rel dalam rentang waktu sebulan tidak bisa dianggap remeh. Kondisi antrean yang mengular di jam sibuk ditambah konsentrasi pelanggan yang sudah menurun setelah pulang kantor tentu berpotensi untuk menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan jika tidak ada pembenahan pengamanan yang signifikan.
- Di stasiun BKS, terkadang jadwal keberangkatan berubah-ubah, walaupun petugas sudah memantau via aplikasi. Akibatnya, penumpang kembali harus naik turun tangga/lift menuju peron jalur lainnya. Perlu papan informasi digital real time di area tunggu penumpang (seperti yang berada di peron) sebelum penumpang memutuskan turun ke area peron.
- Keterlambatan kereta harus diminimalisasi, walau mungkin hanya untuk saat ini, karena belum berfungsinya double double track (DDT) secara menyeluruh. Namun demikian, PT KCI harus mengantisipasi keterlambatan di jam-jam sibuk, terutama di Senin pagi dan Jumat malam.
- Peron antarpenumpang luar kota dengan komuter masih bergabung (case di BKS), beberapa kali penumpang sedikit bersitegang karena perbedaan kepentingan pelanggan yang hendak naik dan penumpang jarak jauh yang hendak turun ke area peron harus bertabrakan di tangga.
- Jarak antara peron dengan pintu kereta cukup lebar dan membahayakan, seperti di KPB. Padahal, mengacu ke Permenhub No. 7 Tahun 2022, celah/gap peron dengan pintu kereta maksimal 10 cm.
- Di jam sibuk pelanggan justru harus menunggu lama di MRI, utamanya di atas pukul 19.00, padahal justru di jam-jam tersebut CL tersedia dengan jarak waktu yang tidak lama. Antrean menjadi mengular dan penumpukan pelanggan tidak terhindarkan, sebuah kondisi yang sangat tidak ideal, terlebih di masa pandemi seperti saat ini.
- Jika rute BKS-KPB-JAKK serius untuk dijadikan rute alternatif bagi pelanggan dari Bekasi, maka perlu modifikasi relasi untuk jam berangkat kantor, BKS-PSE-KPB-MRI menjadi BKS-PSE-JAKK kemudian kembali ke KPB-MRI dst. Selain hemat waktu dan tenaga, transit di KPB hanya untuk menuju ke satu stasiun (JAKK) menurut Saya cukup konyol, karena waktu tunggunya mencapai 18 menit.
- Begitu pula sebaliknya, dari JAKK perlu ada relasi langsung ke BKS pada saat jam sibuk agar pelanggan tidak bertumpuk di MRI.
- Pemasangan CCTV yang lebih masif di area stasiun dan (jika perlu) di dalam kereta sebagai bentuk mitigasi serta alat bukti aksi kejahatan hingga pelecehan seksual yang beberapa waktu ini mulai marak kembali. Tindakan tegas harus dilakukan guna menjamin kenyamanan dan keamanan pelanggan, diantaranya dengan proses hukum terhadap pelaku kejahatan dan pelecehan seksual.
- Fasilitas stasiun sering bermasalah, contohnya eskalator dan lift yang kadang rusak, meskipun ada pemberitahuan lamanya pengerjaan, tapi tidak ada kepastian atau estimasi tanggal kapan dapat dipergunakan kembali. Stasiun MRI juga cukup sering terjadi kebocoran di beberapa area saat hujan, sangat disayangkan untuk bangunan yang relative baru. Stiker informasi jalur di pilar pada peron juga sebagian mulai mengelupas, perlu pemantauan serta pemeliharaan yang lebih serius.
- Informasi yang mendadak namun tidak responsif. Informasi pemberlakuan SO-5 disampaikan ke khalayak hanya seminggu sebelum pelaksanaan, padahal dampaknya sangat signifikan bagi pelanggan, baik dari sisi waktu maupun tenaga. Sedangkan pencabutan kebijakan satu baris tempat duduk hanya maksimal untuk empat orang (berjarak) dilakukan sangat lambat, padahal pelanggan yang berdiri sudah berdesakan.
Kepadatan yang terjadi di MRI seolah tidak berdampak positif bagi pelanggan yang transit, selain bangunan yang lebih megah dan panorama kota Jakarta yang lebih menarik. Stasiun MRI pada jam sibuk/rush hour sudah cukup mumpuni untuk transit, namun menjadi tidak ideal saat pelanggan berjubel di jam-jam sibuk menanti di peron transit.
Sudah sepatutnya PT KCI terus berbenah, karena pelayanan terhadap pelanggan komuter sejatinya tidak sulit untuk dianalisis dan segera diantisipasi, mengingat polanya yang berulang. Kehadiran CL dengan daya angkut 600.000 pelanggan setiap hari tentu sangat membantu mereka yang komuter di hari kerja maupun bepergian antarkota di akhir pekan. Namun jika kondisi saat ini tidak ada perbaikan yang signifikan, bagaimana mungkin bisa menangani dua juta penumpang secara layak di kemudian hari?