Awal Mei 2015, saya bereuni dengan seorang kawan perempuan yang sudah beberapa bulan tidak bertemu sejak ia meninggalkan Tanah Papua. Di pulau indah itu, kami bertemu, berkenalan, dan menjadi teman akrab hingga sekarang, dan mudah-mudahan selama-lamanya. Amin. Akan tetapi, kami tidak bereuni di Papua, melainkan di salah satu pusat kuliner di area Kuningan, Jakarta. Bersamanya, turut serta seorang perempuan yang kelak menginspirasi saya menuliskan catatan ini.
Pertemuan itu berlangsung super menyenangkan. Kami bertukar kisah. Saya masih deg-degan menunggu pengumuman posisi konsultan di salah satu kantor kementerian, yang bahkan hingga tulisan ini saya unggah masih saja menggantung tidak jelas, sementara dia menceritakan keteledorannya soal paspornya yang habis sejak Januari lalu dan baru disadari beberapa minggu sebelum keberangkatannya kembali ke Australia untuk melanjutkan studi doktorat. Tentu saja, kisah-kisah itu kami kemas dengan gaya unik masing-masing yang selalu mengundang gelak tawa siapa saja yang menyimak, termasuk si teman perempuan pendatang baru ini. Ah, saya sebut saja di Mbak Menik ya. Daripada repot. Oh ya, teman saya sebut saja Mbak Menur. Saya sendiri boleh dipanggil Den Mas Ngabehi Pancen Nyebahi.
Bukan. Nama saya Yoga, sudah terdaftar sebagai akun Kompasiana.
Setelah dua jam lebih mendengar saya dan Mbak Menur berbalas kisah, agaknya Mbak Menik ini juga ingin bertutur kisahnya sendiri. Mungkin dia lelah. Lelah mendengarkan celotehan saya dan Mbak Menur. Hehehe... Tidak seperti itu juga sih. Saya dan Mbak Menur selalu melibatkan Mbak Menik kok dalam perbincangan kami. Tentunya sebagai pendengar setia. Tidak lebih. Tertawa pun dibatasi. Tidak boleh protes. Lagian, siapa suruh situ ikut reunian kami. Hahaha... Haduh kalau Mbak Menik asli membaca tulisan ini dari belahan bumi lain, maaf ya Mbak. Saya yang kurang ajar ini dilempar bumerang saja. Biar balik lagi ke Mbak. Hehehe...
Mbak Menik pun akhirnya buka suara. Dia menceritakan kekhawatirannya soal sahabatnya yang hendak menikah. Sahabatnya ini perempuan juga. Dia akan menikah dengan laki-laki. Masalahnya, laki-laki ini terindikasi gay, yang kemudian berujung biseksual.
Yakin?
Mbak Menik langsung bersumpah bahwa dia sudah mengonfirmasi kebenaran ini kepada pihak lelakinya. Kebetulan Mbak Menik juga kenal dengan si laki-laki. Cukup lama bahkan. Sejak pertama kenal hingga beberapa tahun kemudian, Mbak Menik senantiasa mendengar bahwa laki-laki ini memang penyuka sesama jenis. Konon kabarnya ada yang pernah melihat dia jalan menggandeng laki-laki lain di Mal A, lalu di lain waktu makan berdua di restoran B, dan seterusnya. Namun demikian, Mbak Menik hanya menganggap itu sebagai gosip... sampai dia akhirnya menyaksikannya sendiri dan bertanya pada yang bersangkutan, apakah dia gay? Jawabannya ternyata sedikit melegakan: dia mengaku biseks. Tapi dia tidak pernah berkencan dengan perempuan atau memiliki pacar perempuan. Mungkin dulu. Waktu masih SD.
Sebenarnya Mbak Menik tidak ada masalah dengan status orientasi seksual teman-temannya. Sebagai praktisi di bidang kesehatan, logikanya cukup baik menerima kenyataan bahwa tidak ada makhluk terlahir sempurna di dunia ini. Namun demikian, semuanya menjadi dilema ketika dia mengetahui bahwa lelaki biseks itu akan menikahi teman baiknya sendiri, seorang perempuan yang dikenalnya sebagai sosok penurut, agak konservatif soal komitmen, walau pikirannya terbuka dan toleransinya tinggi.
Sebagai sahabat baik, Mbak Menik tidak bisa diam. Dia lalu bertanya kepada sahabat perempuannya apakah benar telah mengenal calon suaminya itu luar dalam?
Secara mengejutkan, jawabannya sudah! Si perempuan ini sudah tahu bahwa laki-laki yang akan bersanding dengannya di pelaminan itu adalah seorang biseksual. Namun, perempuan ini amat optimistis bahwa suaminya kelak dapat menjadi 100 % heteroseksual, setelah menikah dengannya kelak. Mari kita amini. Amin.
Sayangnya, kenyataan sering berkata sebaliknya.