[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Ilustrasi warung angkringan di Yogyakarta"][/caption] Ketika itu menjelang pertengahan Februari 2011, saya baru saja merampungkan pekerjaan kantor di salah satu sudut Kota Yogyakarta. Sore yang cerah. Kebetulan hari itu saya tidak membawa kendaraan sendiri. Pagi hari, sebelum berangkat kerja, pacar saya bilang kalau dia akan menjemput saat jam pulang dari kantor. Saya masih ingat betul, setelah beres-beres meja kerja saya berulang kali melirik ke jam dinding kantor yang jarumnya semakin menjauhi angka 6. Adzan maghrib sebentar lagi mengumandang, tapi pacar tak juga kunjung datang... Ah sudahlah. Ini bukan pertama kali dia terlambat menjemput, jadi saya sudah maklum. Kebetulan ada salah satu teman kantor yang juga belum pulang. Kami pun mengobrol ngalor-ngidul di dalam kantor, istilah bahasa Jawa soal ngobrol yang tak tentu arah. Mungkin karena lelah bicara atau bagaimana, tiba-tiba saja kami berdua merasa lapar. Dia pun mengajak saya makan di warung angkringan sebelah kantor. Barang siapa yang pernah berkunjung ke Yogyakarta tentu tahu, atau setidaknya pernah mendengar, warung yang terdiri dari gerobak dan tenda terpal ini. Warung sederhana tersebut memiliki banyak ciri khas: selalu dilengkapi tiga ceret berisi air mendidih, menjual menu utama "nasi kucing" -- nasi dan sambal dibungkus daun pisang dan kertas koran -- yang besar porsinya tidak lebih dari lima suap (bagi saya), dan juga menjual beragam camilan seperti bakwan, tempe mendoan, tahu susur, sate usus ayam, sate telur puyuh, dan lain-lain. Ditemani remang-remang cahaya lampu petromaks, kami pun duduk di warung itu dan memesan nasi kucing, serta wedang jahe. Sambil menunggu si penjual membakar rimpang jahe, tiba-tiba saja kami mulai berbicara mengenai topik yang agak berat: rencana hidup ke depan! Kami tidak membicarakan soal pernikahan atau rumah tangga, melainkan karir dan pendidikan. Ketika itu kami agak merasa "mentok" karena pendidikan yang masih sarjana. Inginnya sih, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi agar mendukung jenjang karir. Inginnya lagi, kuliah di luar negeri. Inginnya lagi, mendapat beasiswa gratis. Kami pun tertawa. Banyak sekali keinginan kami. Mana bisa semuanya tercapai? Bikin bingung Tuhan saja! Namun pembicaraan tidak berhenti. Pada babak berikutnya, kami pun mulai menggunjingkan teman-teman atau kenalan yang sudah berhasil mendapatkan beasiswa. Kebetulan salah satu rekan kerja di kantor ada yang baru saja mendapatkan beasiswa Master ke Australia. Kami pun bertanya-tanya, kenapa si A bisa lolos seleksi beasiswa itu? Kenapa teman kami yang lain, si B, lancar sekali kuliah hingga S3 di luar negeri? Kenapa begini? Kenapa begitu? Kok bisa? Padahal kami mengenal mereka semua dan menurut kami mereka itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang terlalu menonjol. IPK kami lebih tinggi dan bahasa Inggris kami lebih bagus (rasanya). Sampai akhirnya kami hening sejenak... Kami berdua sadar bahwa mereka yang kami siriki itu sesungguhnya adalah orang-orang yang mau berubah dan giat mencari kesempatan. Setelah mendapatkan celah, mereka pun memanfaatkannya secara optimal. Pada akhirnya, pantaslah sekiranya jika mereka berhasil mendapatkan apa yang selama ini mereka impikan. Mari berkaca ke diri sendiri. Bagaimana dengan kami? Apa yang sudah kami lakukan? Apa yang sedang kami lakukan sekarang? Alih-alih duduk serius di depan komputer dan memohon bantuan Mbah Google untuk mencarikan peluang beasiswa, kami malah ongkang-ongkang kaki di bangku angkringan sambil menyantap sate usus ayam! Kami harus memulai sesuatu, tapi kapan? Sekarang? Tanggung, lagi makan. Besok? Ah, masih banyak pekerjaan. Lalu kapan? Jangan-jangan kami tidak akan pernah mulai mencari kesempatan. Sampai akhirnya pada suatu waktu di masa depan, kami kembali tetap makan di warung angkringan sambil mengulang khayalan yang sama tentang karir yang mentok dan peluang beasiswa yang tak kunjung datang. Kami tertawa. Hanya saja, kali ini sedikit kering rasanya. Karena kami sadar ada sesuatu yang tidak semestinya... Tepat di suapan terakhir, pacar saya datang. Syukurlah. Saya jadi punya alasan untuk mengakhiri pembicaraan khayalan yang agak menohok jiwa ini. Sambil menegak wedang jahe dan membayar semua makanan, saya pun beranjak pamit meninggalkan teman yang ternyata masih termenung sambil menghabiskan nasi kucingnya. Entah apa yang dia pikirkan. Saat itu saya berpikir, mungkin pembicaraan tentang beasiswa ini ide buruk yang seharusnya tidak kami lakukan. Namun demikian, sejak malam itu saya akui hidup saya mulai berubah. Selain merasa tertohok, saya juga merasa termotivasi. Tanpa saya sadari saya sudah memulai berlari untuk mengejar mimpi. Ketika itu saya masih tidak yakin akan apa yang hendak saya raih, tapi saya berlari saja... Sekencang-kencangnya. Sekuat tenaga! ...bersambung Ilustrasi: http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/11/angkringan-sebagai-ruang-publik.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H