Mohon tunggu...
Yoga Putra
Yoga Putra Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sosok yang mudah "gumunan" terhadap segala fenomena di dunia dan memilih untuk menjabarkan kekaguman itu dalam tulisan ketimbang sekadar dipendam dalam hati.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ketika Seorang Gay Menikah

11 Mei 2015   20:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:09 1887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbak Menik lantas meminta pendapat saya. Sebagai seorang manusia biasa, saya menjawab manusia pasti berubah dan tidak ada yang tidak mungkin. Contohnya, saya dulu omnivora sejati. Semua saya makan. Tapi, begitu leluhur saya menurunkan wangsit bahwa saya tidak boleh makan daging sapi lagi, lewat sebuah acara keagamaan di kampung saya di Bali, seketika itu juga saya benar-benar tidak makan daging sapi. Saya bahkan tidak selera mendengar makanan yang ada daging sapinya. Saya bahkan selalu bertanya, apakah makanan ini ada daging sapinya atau tidak, setiap memilih menu restoran. Persis sama seperti yang dilakukan saudara-saudara Muslim saat mencari makanan halal di luar negeri. Jangan ada secuil unsur babi masuk ke dalam mulut dan lambung mereka. Haram. Saya sebaliknya, babi oke, sapi tidak.

Jadi manusia memang bisa berubah, yang sebelumnya gay sangat mungkin menjadi heteroseksual permanen.

Akan tetapi, sebagai seorang gay yang sudah makan banyak asam garam dunia pelangi, jujur saya harus berkata bahwa saya meragukan komitmen lelaki itu. Ini memang kontroversial. Saya kemudian berusaha menjelaskan kepada Mbak Menik melalui sederet pengalaman dan kisah yang pernah saya alami dan dengar langsung dari para gay, atau biseksual, yang menikah dengan perempuan, dan selalu berujung perselingkuhan. Dengan laki-laki tentunya.

Pertama, perlu diakui bahwa seorang laki-laki gay atau biseksual di Indonesia masih kerap dihadapkan dengan situasi sulit yang memaksa dia tidak bisa jujur dengan orientasi seksualnya dan bertahan dengan pilihan itu. Faktor budaya ketimuran dan agama adalah yang paling dominan. Dalam budaya kolektivis, seperti di Indonesia, menikah itu umumnya bukanlah pilihan individu. Menikah adalah keputusan keluarga. Sebab, kaitannya banyak, mulai dari status sosial, pengakuan, hingga soal material harta warisan. Kawin lari tanpa restu orangtua? Siap-siap dicoret dari silsilah keluarga!

Kemudian ada juga agama. Perintah untuk menikah dan berpasang-pasangan, lalu berketurunan, sudah menjadi hal yang tidak bisa lagi ditawar. Lakukan, jika tidak maka berdosa.

Akhirnya, banyak laki-laki gay yang terpaksa, atau memaksakan diri, untuk menikah. Mayoritas masyarakat pasti berpikir: ya elah, apa susahnya sih buat seorang laki-laki untuk kawin? Tinggal matiin lampu, merem, ereksi, maju-mundur berkali-kali, ejakulasi, rampung. Iya... Seandainya benar hanya seperti itu, berarti tidak berperasaan ya? Padahal nama kegiatannya saja bercinta, tapi melakukannya tanpa cinta. Lalu, apa maknanya?

Yang sesungguhnya terjadi di dunia gay dan biseksual ini adalah, seorang laki-laki memiliki kadar ketertarikan terhadap sejenis maupun lawan jenis yang berbeda-beda. Untuk gay top (yang dominan berperan sebagai laki-laki), versatile (bisa berperan jadi laki-laki atau perempuan), dan biseksual, mungkin mudah mengalihkan nafsu mereka dari sosok laki-laki ke perempuan, karena mereka memang masih tertarik dengan perempuan. Akan tetapi untuk gay bottom (yang dominan dan selalu menjadi perempuan), bercinta dengan perempuan itu menjadi mustahil dilakukan. Lha bagaimana, dia yang menjadi "perempuan" bagi laki-laki lain mendadak harus terangsang ketika disuguhi "sesama" perempuan, apa ya mungkin? Mungkin bisa, tapi ya tadi itu, perlu jamu kejantanan satu kendi, lampu mati, dan main asal keluar masuk selama beberapa menit saja. Tidak akan pernah ada perasaan. Boro-boro cinta.

Jadi sudah agak paham ya, kalau sewaktu-waktu melihat ada laki-laki gagah perkasa usia senja, tapi belum menikah juga, maka dia patut diduga dia impoten. Kalau tidak impoten, ya gay. Gay bottom. Ingat, gay bottom tidak harus tampil kemayu atau menjadi waria. Gay bottom juga bisa bersembunyi di balik kemasan badan kekar dan kumis lebat, karena mereka menyadari bahwa mereka adalah laki-laki... yang juga suka laki-laki.

Kembali ke kasus temannya Mbak Menik.

Kekhawatiran utama Mbak Menik adalah bukan soal seksnya. Kembali ke awal kisah, laki-laki ini biseksual, jadi tetap bisa oke dengan perempuan ataupun laki-laki. Mbak Menik hanya takut temannya ini akan diselingkuhi jika kelak ia sudah berumah tangga. Apalagi, tampaknya akan ada banyak peluang yang membuat perselingkuhan itu dapat terjadi. Pertama, temannya Mbak Menik ini kan perempuan, pasti menstruasi ya. Kalau sedang datang bulan pasti tidak bisa berhubungan intim ya. Lalu, kalau suaminya lagi pengen gimana? Dua, teman Mbak Menik ini kemungkinan akan kerja atau kuliah di tempat lain. Nah, long distance relationship dong ya? Beberapa saat tanpa istri ya? Kesempatan cari berondong ya? Atau tiga, yang ini amit-amit, ketika temannya Mbak Menik ini hamil hingga masa nifas setelah melahirkan. Kan, nggak mungkin berhubungan seks ya? Bisa selingkuh juga dong ya?

Jadi ini soal komitmen si laki-laki untuk dapat setia selamanya kepada si teman perempuannya Mbak Menik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun