Saya masih ingat bersepeda di awal tahun 2012. Sambil menyusuri jalan-jalan di Kota Yogyakarta yang kala itu senantiasa mendung, saya mendapati sebuah fenomena baru: ada beberapa kendaraan bermotor berplat putih lalu-lalang di sekitar saya. Plat putih di sini maksudnya bukan plat nomor kendaraan bermotor yang sengaja dicat putih untuk gaya-gayaan. Melainkan plat nomor kendaraan yang baru saja dibeli dan dalam proses pembuatan surat-surat di Samsat. Contoh platnya seperti gambar di atas itu... Tadinya saya hanya berpikiran, wah tahun baru, kendaraan baru nih ye... Nggaya... Dan saya hanya menduga hanya segelintir orang yang membeli kendaraan baru sebagai bagian dari resolusi tahunannya. E'eh, ternyata saya salah saudara-saudara. Semakin hari berganti, saya semakin sering melihat kendaraan berplat putih. Pun kendaraannya bermacam-macam. Mulai dari mobil SUV, mobil kecil (city car, baca: setikar alias sepanjang lembaran tikar :D). motor bebek, hingga motor soang, semuanya baru. Gres! Kinclong! Kinyis-kinyis! Kalau kata orang Jogja. Pokoknya tiada hari tanpa melihat plat putih di Jogja. Saya sih tidak menyoalkannya, sampai... ...sampai di suatu sore yang panas saya dan sepeda saya terjebak kemacetan lalu lintas di salah satu ruas jalan Jogja. Tepat di tepi jalan itu berdiri sebuah pusat perbelanjaan elektronik yang lahan parkirnya meluber hingga ke badan jalan. Keluar-masuknya kendaraan di parkiran itulah yang menjadi biang jalan macet. Ditambah lagi, sebuah fakta lain, yang mungkin cuma kebetulan terjadi saja, adalah banyak kendaraan yang parkir itu berplat warna putih! Demikian halnya dengan kendaraan yang berada di jalan dan terjebak macet seperti saya, juga banyak yang berplat putih! Wadooww!! Bisa dibayangkan sendiri kan betapa tersiksanya terjebak macet? Sudah panas, bingung tidak bisa ke mana-mana, masih harus sesak nafas pula gara-gara emisi kendaraan bermotor yang mengumpul di sepanjang jalan dan sepertinya enggan mengudara. Saya, yang salahnya saat itu tidak mengenakan masker, terpaksa harus menghirup asap kendaraan nan tak kasatmata itu. Akibatnya, tidak cuma batuk berulang-ulang, paru-paru saya pun megap-megap dibuatnya. Penyiksaan belum sampai di situ, sesampainya di rumah, saya disajikan berbagai berita mengagetkan di internet yang mengatakan pembelian mobil diperkirakan naik di tahun 2012. Astaga... Berarti siksaan kemacetan yang baru saja saya alami ini hanya permulaan? Tiba-tiba terbayang dalam pikiran saya masa-masa sulit berlalu lintas sepanjang 2012 dan juga tahun-tahun berikutnya. Padahal saya lebih suka naik sepeda... Padahal ini baru di Jogja. Apa kabar kota-kota besar lain? Halo Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya... Seorang teman yang beraliran ekstrim anti kepemilikan kendaraan bermotor mengusulkan seharusnya ada perubahan pola pikir yang tidak lagi menjadikan mobil atau motor sebagai simbol status kekayaan, tetapi sebaliknya. Barang siapa yang membeli mobil dan motor harus dicap sebagai penjahat lingkungan yang tidak hanya berkontribusi terhadap penambahan polusi udara, bahkan juga polusi bagi jiwa! -like this- Terus terang saya amat-amat pesimis usulan teman saya bisa jadi kenyataan. Karena saya tahu betul orang-orang di sekitar saya akan mencibir usulan itu. Mereka jelas akan memilih enak duduk anteng di dalam mobil ber-AC ketimbang panas-panas menggenjot sepeda. Atau melenggak-lenggok di jalan naik motor daripada berdiri statis di dalam bus. Masalah harga bahan bakar yang diperkirakan akan terus melambung, atau polusi udara, atau kemacetan, atau bahkan kenyataan bahwa kendaraan bukanlah investasi yang baik karena harganya terus merosot, mana mereka pikirkan? Yang penting cepat, nyaman, dan nggaya... Ya, tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H