Selasa siang di kantor saya yang nyaman di Kota Yogyakarta, tiba-tiba layar ponsel berkelap-kelip. Sebuah pesan singkat masuk. Pengirimnya adalah sepupu saya yang tinggal di Bantul. Dengan gerakan lincah, jemari saya membuka pesan itu, dan kedua mata ini langsung membaca baris demi baris tulisan.
"Aduh. Aku abis ditabrak orang. Sekarang kakiku retak. Hedeh. Sakit banget. Aku di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul"
Heh?! Sepupu saya kecelakaan? Saya lirik jam, ternyata pukul 15.25. Belum waktunya pulang kantor. Sedikit panik saya lalu membalas pesan itu. Meminta sepupu saya untuk tenang. Setelah itu saya sms pula saudara-saudara lain. Mana tahu ada yang sedang luang sehingga bisa menemani sepupu saya di rumah sakit. Beruntung, adik saya yang sedang libur kuliah bersedia pergi ke Bantul.
Sepulang kerja, saya dilapori adik saya. Ternyata sepupu saya adalah korban imbas kecelakaan. Adik saya cerita, sebenarnya sepupu saya sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah naik sepeda motor. Sepupu saya tidak sedang memacu gas karena kondisinya lelah, jadi dia memilih santai-santai saja sambil menikmati udara sore yang hangat. Belakangan hari ini, wilayah Yogyakarta memang sedang cerah, padahal sebelumnya selalu mendung dan hujan.
Tanpa disangka, dari arah belakang sepupu saya melaju sepasang sepeda motor dengan kencang. Satu motor mengejar motor yang lain. Motor yang ada di depan, belakangan diketahui dikendarai oleh salah satu siswa SMA swasta di Yogyakarta, mengebut dengan kalap. Sementara di belakangnya, dua siswa dari SMA lain berboncengan dengan kecepatan yang tak kalah kencangnya. Entah apa yang terjadi di antara mereka, yang pasti kedua siswa yang berboncengan itu tampak beringas dan ingin menyerang siswa yang ada di depan mereka.
Sepupu saya tidak memperhatikan hal tersebut. Dia tetap berkendara santai. Sampai suatu saat dua kendaraan yang saling berkejaran itu sejajar dengan posisinya. Dua siswa yang berboncengan itu kemudian menendang siswa yang mereka kejar. Menerima serangan dalam kecepatan tinggi, tak ayal, siswa yang ditendang pun kehilangan keseimbangan dan mendadak jatuh menyerempet motor sepupu saya yang di sampingnya. Seketika itu pula mereka berdua jatuh berguling-guling di aspal sementara kedua siswa yang berboncengan itu langsung kabur dari lokasi kejadian.
Akibatnya, sepupu saya mengalami patah tulang pergelangan kaki kanan dan luka berat di kedua tangan dan lecet-lecet di sekujur tubuh. Sementara si siswa yang kena tendang tadi juga terluka, bahkan bibirnya sobek di bagian atas.
Kini, sepupu saya yang tidak tahu apa-apa harus menjalani hari-harinya selama lebih kurang satu bulan ke depan dalam balutan gips. Dia pun harus beristirahat total selama seminggu untuk menyembuhkan lukanya. Beruntung, siswa yang menyerempet sepupu saya mau bertanggung jawab. Keluarga siswa itu menanggung semua biaya rumah sakit, termasuk perbaikan sepeda motor sepupu saya yang remuk di sana-sini akibat mencium aspal.
Apa yang dialami sepupu saya sebenarnya bukan cerita baru. Ketika duduk di bangku SMA dan kuliah, saya juga sering mendengar banyak pelajar tak bersalah yang justru menjadi korban dari kegiatan anarkis pelajar lain. Entah itu tawuran, kejar-kejaran, atau pemalakan disertai kekerasan. Kalau cuma kehilangan harta benda saja sih mungkin tidak terlalu perlu dipusingkan. Harta bisa dicari lagi. Tapi kalau sudah menimbulkan kerugian fisik seperti yang dialami sepupu saya: cacat patah tulang, apalagi sampai kehilangan nyawa, itu sudah benar-benar di luar batas.
Ironisnya aktor-aktor dalam berbagai tragedi ini adalah mereka yang berstatus sebagai pelajar. Pelajar yang berarti anak yang sedang makan bangku sekolahan, anak yang mengisi hari-harinya dengan menerima pelajaran, ternyata bisa juga bertindak sembrono lagi bodoh dan tidak berperikemanusiaan seperti itu.
Saya pun berpikir, mungkin pelajar hanyalah sebutan bagi mereka yang belajar. Ya belajar saja, dalam pengertian membaca buku, mendengarkan guru menjelaskan, mengerjakan soal berdasarkan pengertian yang mereka terima, lalu pulang ke rumah, dan bersenang-senang dengan keluarga dan teman-temannya. Tapi apakah mereka juga seorang pemikir? Saya meragukannya.