“Cuk, buku lo berapa juta?” “Hoi, 49.000” “Mahal amir. 75 rebu donk” “Boleh” “Mana kirimin norek lu” “Alamat aja dulu” “Gw beli versi fotokopian ada ga?” “No rek gampang” “Wah uda jadi cowok gampangan lu. Gw lupa alamat kos” “Kantor aja” “Ntar dikira gratifikasi” “Taik” Transekrip (bingung cuk how to say transcript in bahasa) diatas bukanlah rekaman percakapan Menpora yang ketipu beli sepeda fixie, apalagi dialog di video PNS Bandung. Tapi percakapan singkat saya dengan Fikri, salah satu penulis keren favorit saya. Kenapa saya bilang Fikri keren? Karena Fikri itu teman kuliah saya. Sedangkan saya kan orang ganteng. Orang ganteng hanya berteman dengan orang keren. Sehingga otomatis, Fikri itu keren. Sungguh silogisme yang agak tidak logis, tapi tetap keren. Dan Fikri itu salah satu mahasiswa FEB U*M yang paling keren. Jago bolos pas SMA, rambut gondrong, jeans belel, badan kurus junkies. Kalau ke kampus bawa buku kuliah dikira mau ngamen, sedang kalo bawa gitar malah dikira mau kuliah. Fikri ga cuma punya darah seni. Ditubuhnya mengalir air seni. Absurdity, (judul bukunya pake koma cuy) adalah kompilasi kontemplasi kehidupan penulis dengan nama lengkap Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama ini (nama Fikri adalah sebuah akronim). Berisi “ke-absurd-an” perjalanan hidupnya seperti ga pernah belajar malah lulus ujian, percintaan yang mengenaskan, suka duka mahasiswa, dan tentu saja fenomena pergaulan bebas kos-kosan Jogja (sekarang zamannya perdagangan bebas, masa pergaulan ga bebas). Coba baca salah cerita keren fikri: Karena tidak banyak teman yang memilih melakukan ujian di Jogja, kepergian saya disambut bahagia oleh teman-teman. Seperti biasa, orang Indonesia selalu saja meminta oleh-oleh kalau kerabatnya bepergian.
“Fik, lo mau ke Jogja ya? Beliin gue oleh-oleh dong, Bakpia ya!” “Iya kalau bisa gue beliin deh buat lo” “Asik nih ke Jogja! Fik, beliin gue batik dong!” “Iya nanti kalau sempet gue jalan ke Malioboro” “Fik, beliin gue lumpia dong” “Lumpia itu dari Semarang, bego!” Mereka yang meminta oleh-oleh sepertinya lupa kalau saya pergi ke Jogja bukan untuk pelesir. Saya ujian! Saya ingin melanjutkan pendidikan! Saya ingin berguna bagi bangsa dan tanah air tercinta! Saya ingin Indonesia lebih maju! Saya mengetik ini dengan posisi tangan ke dinding, badan condong miring, posisi kepala menghadap langit, dan sinar matahari menerpa wajah sebelah kiri membentuk siluet yang indah.
Setelah merampungkan absurdity, aksioma alam bawah sadar saya bertambah satu: Jika fikri bisa menulis buku Teori Portofolio dan Analisis Investasi seperti menulis absurdity, dia pasti dapat nobel ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H