Konon, tingkat peradaban sebuah kota bisa dilihat dari lalu lintasnya. Jika teratur jalanannya, maka teratur pula masyarakatnya. Demikian sebaliknya, semakin ruwet jalanan sebuah kota, maka semakin chaos orang-orang yang ada di dalamnya.
Ketika menginjakkan kaki di Delhi, sebagai manusia eksodus via Jakarta saya sudah mengantisipasi keruwetan yang akan terjadi.
“Paling ga seruwet Jakarta” itu yang ada dalam benak saya.
Tapi begitu menjelajahi jalanan Delhi dan Mumbai, ternyata lalu lintas Jakarta belum ada apa-apanya! Saya tiba-tiba jadi sholeh dan ingat Tuhan karena gaya menyetir yang dekat dengan kecelakaan. Beberapa kali kami menyalip dengan jarak yang tipissss. Klo saya main game Need for Speed, NOS-nya bakal keisi terus.
Bawaannya ngebut, rebutan jalan, salip menyalip, hobi rem mendadak, ditambah klakson yang terus ditekan membuat suasana menjadi seperti konser: ramai dan meriah. Lalu lintas sudah seperti hunger game sehingga berlaku hukum rimba: siapa cepat dia dapat.
Raj, driver yang mengantar kami bilang jika dibutuhkan “3 good” untuk bisa menyetir dengan selamat di Delhi.
Pertama adalah “Good Break”
Rem yang pakem. Jika Anda menyetir di Delhi maka jangan kaget jika tiba-tiba ada benda asing nyelonong ke tengah jalan. Bisa auto rickshaw (bajai) yang lagi belajar nikung kaya nikung pacar teman, orang yang bosen hidup tiba-tiba lari menyebrang, hingga sapi yang like a boss melenggang dengan santai.
(FYI, sapi disini adalah binatang suci yang dilindungi. Dia takkan dimarahi atau diusir. Dan jangan pernah mengajak teman India Hindu Anda untuk makan malam steak tenderloin atau Wagyu!)
Pergerakan kendaraan yang ada di jalanan sangat stochastic menyaingi pergerakan indeks bursa Dow Jones. Sekarang saya tahu kenapa di Indonesia ada ungkapan:
“Ngeles aja lu kaya Bajai!”