Mohon tunggu...
Mbah Jenggot
Mbah Jenggot Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Hidup seperti lary

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Terlipat di Antara Tisu-tisu Jalanan

16 Januari 2024   13:55 Diperbarui: 16 Januari 2024   14:12 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bandung, 10 Januari 2024 - Dalam hiruk pikuk kehidupan kota, di daerah Pasteur, Bandung, terdapat sebuah cerita yang tak terlihat oleh kebanyakan orang. Di tengah-tengah gemerlap kendaraan dan pusat perbelanjaan, ada seorang bocah berusia delapan tahun yang menjalani kisah hidupnya dengan tisu-tisu kecil sebagai satu-satunya bekal. Nama kecil itu adalah Aji, seorang pahlawan kecil yang terpaksa berjuang di jalan untuk bertahan hidup.

Setiap pagi, sebelum matahari mulai menyinari kota Bandung, Aji sudah bersiap-siap untuk menjalani rutinitasnya yang melelahkan. Mengenakan pakaian lusuh yang tak lagi sanggup menutupi tubuhnya dari dinginnya udara pagi, dia berdiri di sudut jalan dengan senyum polos di wajahnya. Namun, di balik senyum itu terdapat kepedihan dan beban hidup yang tak seharusnya dipikul oleh seorang anak kecil.

Ayah dan ibu Aji, seperti banyak orang di daerah ini, terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit terputus. Mereka bekerja sebagai pekerja harian lepas dengan upah yang tidak menentu. Dengan penghasilan yang pas-pasan, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi menyekolahkan anak-anaknya. Aji, dengan berat hati, harus menjadi tulang punggung keluarga meski usianya yang masih sangat belia.

Setiap hari, Aji membawa keranjang kecil berisi tisu-tisu yang ia jajakan di sepanjang trotoar Pasteur. Tisu-tisu itu, yang seharusnya hanya menjadi alat membersihkan, kini menjadi simbol dari kisah hidupnya yang penuh dengan tangisan dan harapan. Setiap kertas tisu yang terlipat menjadi pengingat akan derita yang harus dia hadapi setiap hari.

Dalam suka dan duka, Aji menjalani hari-harinya. Di saat matahari tinggi di langit, saat banyak anak-anak seusianya bermain dan mengejar mimpi mereka, Aji duduk di pinggir jalan sambil menyusun tisu-tisu yang belum terjual. Dia terdiam, memandangi jalanan yang padat dengan orang-orang yang mungkin tidak pernah tahu bahwa di antara mereka ada seorang anak kecil yang menjual tisu demi bertahan hidup.

Wajah polos Aji menyiratkan kebijaksanaan di balik kecilnya tubuhnya. Dia telah belajar banyak tentang hidup, tentang kegigihan, dan tentang keadilan yang kadang terasa begitu jauh darinya. Setiap tisu yang dijajakannya membawa cerita sedih, kehilangan, dan impian yang terhempas.

"Saya ingin sekolah seperti teman-teman saya," ujar Aji dengan mata yang penuh harap. "Tapi ibu dan ayah harus bekerja keras untuk mencari makan. Saya hanya bisa membantu dengan menjual tisu."

Setiap langkah Aji di jalanan Pasteur menjadi jejak keberanian dan ketahanan. Dia telah belajar untuk tidak membiarkan air mata menghiasi pipinya, meskipun beban hidupnya begitu berat. Bagi Aji, tangisannya tak akan mengubah keadaan, dan dia telah menerima bahwa hidupnya adalah perjuangan yang tak adil.

Namun, di tengah kesedihan itu, ada kilatan harapan yang tak pernah pudar dalam matanya. Saat matahari mulai tenggelam, dan langit di Pasteur dipenuhi warna-warni senja, Aji masih berdiri di pinggir jalan. Meski penat dan lesu, dia tetap menjaga senyum kecilnya, mencoba untuk memandang masa depan dengan harapan yang tetap menyala di dalam hatinya.

Cerita Aji adalah cerita tentang keberanian seorang anak kecil yang terjebak dalam realitas pahit. Namun, juga tentang harapan yang tak pernah padam, tentang impian yang terus hidup di tengah kemiskinan dan kesulitan. Melalui ceritanya, kita diingatkan bahwa di setiap sudut kota, ada anak-anak yang berjuang untuk hidup, dan mereka juga memiliki mimpi-mimpi yang layak dikejar.

Ketika senja melingkupi Pasteur, dan cahaya lampu jalanan mulai bersinar, Aji mengemas sisa tisu-tisu yang belum terjual ke dalam keranjang kecilnya. Dia pulang dengan langkah lelah, tapi hatinya masih penuh dengan harapan. Kita, sebagai masyarakat, dapat belajar dari Aji bahwa di setiap kisah sedih, ada kekuatan yang mampu mengubah nasib, dan di setiap anak penjual tisu, ada potensi yang belum tergali. Semoga, suatu hari nanti, langit senja di daerah Pasteur menyinari masa depan cerah bagi Aji dan anak-anak sejenisnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun