***
Perjalanan dari sekolah menuju tempat tinggal Pak David menemui banyak hambatan. Mulai dari ban mobil yang kempis, macetnya jalan di pertigaan lampu merah, hingga angin yang berhembus kencang di kala perjalanan hampir menemui ujungnya.
Seharusnya, dengan jarak 8 km bisa ditempuh hanya 30 menit. Namun, kali ini harus memakan waktu 1,5 jam. Sebuah pertanda yang kurang baik bagi mereka.
Perumahan tempat tinggal Pak David jauh dari kata ramai. Letaknya di Kabupaten M dipilih Pak David mungkin karena harganya yang terjangkau. Kalau di kota, bisa-bisa setahun 15 juta.
Tok tok tok.
"Permisi. Pak David," ucap Pras.
"Kita langsung masuk saja Pak Pras. Ini urgen soalnya. Mari kita baca doa lebih dahulu agar aman," saran Pak Mar.
Mereka membuka gerbang yang tak dikunci dan langsung mendobrak pintu rumahnya. Hati mereka terkejut melihat kondisi rumah yang berantakan. Pak Mar dan Pras langsung bergegas mencari Pak David.
Ia melihat sosok yang berbaring kaku di kamar tidur. Matanya menatap ke atas. Jantungnya masih berdetak. Namun, jiwanya tiada lagi bersemayam dalam raga.
Nahas benar nasib Pak David. Keputusan untuk tidak masuk sekolah memang memberikan dampak positif bagi sekolah. Tetapi, risiko yang ditanggung Pak David sangat berat.
"Pak Mar. Bagaimana ini?" Tanya Pras gupuh.