Mohon tunggu...
Politik

Dana BLBI adalah Sumber Skandal Pajak BCA

25 April 2016   19:32 Diperbarui: 25 April 2016   19:57 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam Kasus Skandal Pajak BCA, sangat erat kaitannya dengan Dana BLBI. Namun untuk melihat perkara ini perlu kita teliti lebih dalam hubungan dana BLBI yang dimaksud dan kronologis skandal penggelapan pajak BCA nya.

Kronologis pengelapan Dana BLBI dalam Skandal Pajak BCA

Pada 12 Juli 2003, BCA mengajukan keberatan ke Direktorat Pajak Penghasilan (PPH) atas pengenaan pajak sebesar Rp 375 miliar pada NPL (Non Performing Loan/kredit macet) sebesar Rp 5,7 triliun. Direktorat PPH kemudian menelaah pengajuan keberatan BCA itu selama kurang lebih 1 tahun. Hasil putusan Direktorat PPH menolak pengajuan keberatan pajak Rp 375 miliar tersebut.

Namun pada 15 Juli 2004, Hadi Poernomo (Ditjen Pajak saat itu), memerintahkan Direktur PPH dalam sebuah nota dinas untuk mengubah putusan penolakan Direktorat PPH atas BCA, menjadi diterima. Perlu dicatat, ketika itu bukan hanya BCA yang ajukan keberatan, bank-bank lain yang berada dalam pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga mengajukan keberatan yang sama. Namun, hanya BCA yang diterima keberatannya oleh Ditjen Pajak sedangkan Bank-bank lainnya ditolak. Nota Dinas dari Hadi Purnomo itu yang kemudian menjadi bukti KPK untuk menjadikan Hadi Purnomo tersangka dalam skandal pajak BCA Rp 375 miliar.

Dengan diterimanya keberatan pajak itu, pajak yang harus dibayarkan BCA kepada negara hemat Rp 375 miliar dan BCA mencatat laba bersih sebesar Rp 3,196 triliun pada tahun 2004. Namun bila keberatan pajak BCA Rp 375 miliar itu ditolak, maka laba bersih BCA tahun 2004 sebesar Rp 2,821 triliun, lebih rendah 12% dari Rp 3,196 triliun.

Penjelasan dari BCA dalam keterangan resminya, pengajuan keberatan dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam menilai NPL Rp 5,7 triliun tersebut. Dalam kacamata BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Bagi BCA, angka Rp 5,7 triliun itu bukan kredit macet (NPL) tapi pengalihan utang menjadi aset saham kepada pemerintah. Sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar.

Menurut BCA, setelah krisis moneter 1998 BCA berhasil membukukan laba fiskal sebesar Rp 174 miliar di tahun 1999. Dilanjutkan pada tahun 2002,  setelah pemeriksaan oleh Ditjen Pajak, angka itu direvisi. Dalam perhitungan Ditjen Pajak menilai bahwa laba fiskal BCA pada tahun 1999 adalah sebesar Rp 6,78 triliun, bukan Rp 174 miliar.

Perubahan itu ada salah satunya karena adanya pengalihan utang kepada pemerintah menjadi saham BCA Rp 5,7 triliun. Karena adanya konversi utang jadi saham BCA untuk pemerintah itu, BCA mencatat laba fiskal tahun 1999 sebesar Rp 6,78 triliun.

Hadi Poernomo

Hadi Poernomo dinilai mendapatkan sesuatu karena telah muluskan permohonan keberatan pajak Bank BCA. Karena tidak mungkin Hadi melakukan aksinya secara cuma-cuma. Terlebih lagi apa yang dilakukan Hadi Poernomo tergolong tindak kejahatan yang beresiko tinggi karena telah melakukan penyalahgunaan wewenang selaku direktur jendral pajak BPK RI.

Hadi Poernomo memanipulasi hasil telaah direktorat PPH atas permohonan keberatan pajak yang dilayangkan pihak Bank BCA dengan membuat surat keputusan (SK) yang menyalahi ketentuan yang berlaku mengenai keberatan SKPN PPH BCA. BCA mengajukan permohonan keberatan wajib pajak dengan besaran pajak Rp 5,7 triliun atas kredit bermasalah-nya atau non performance loan (NLP) kepada direktorat PPH Ditjen Pajak pada 17 Juli 2003.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun