Mohon tunggu...
Yoga Prakarsa
Yoga Prakarsa Mohon Tunggu... -

Sekedar pembaca cerita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Agen Perubahan?

18 September 2012   03:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yakin jokowi itu agen perubahan?

Bukan bermaksud pesimis atau bahkan skpetis, tapi mari kita berpikir realistis.

[caption id="attachment_206349" align="aligncenter" width="468" caption="Perubahan? (http://dwimauliddiana.wordpress.com)"][/caption] Oke, Jokowi itu bersih dan sangat populer saat ini. Kehadiran Jokowi mengingatkan saya akan euphoria Obama pada saat pemilu presiden Amerika Serikat tahun 2008 yang lalu. Obama populer, dianggap agen perubahan yang bisa mengatasi ekonomi amerika yang sedang terpuruk saat itu. Lewat slogan yang sangat nyaman di setiap kuping rakyat yang frustasi “YES WE CAN!” Obama mempunyai semua unsur untuk menjadikan dia sebagai presiden Amerika Serikat berikutnya, terlepas dari obama berkulit hitam. Perlu diketahui, sejak dulu ada empat syarat tidak tertulis untuk menjadi presiden USA; yaitu “WASP”alias White, Anglo, Saxon, Protestan. Obama berhasil mendobrak hal itu, dan dia berhasil. Namun berhasilkah dia membayar lunas ekspetasi para pemilihnya? Bagaimana dengan Jokowi? Dalam skala yang lebih kecil, Jokowi mempunyai pelbagai syarat untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta selanjutnya. Lihat: dia bersih dari korupsi  dan disukai masyarakat Jakarta (utamanya pemilih kelas menengah keatas), usianya pun terbilang muda. Memang slogan “Jakarta Baru” tidak setenar “YES WE CAN!”-nya Obama, namun siapa yang tidak tahu trend “baju Kotak-kotak”? Ini cara yang sangat jenius sebagai alat kampanye kepada masyarakat menegah keatas di Jakarta.

Inside Job

[caption id="" align="aligncenter" width="405" caption="Poster Film "]

Poster Film Inside Job (http://www.midnighteast.com)
Poster Film Inside Job (http://www.midnighteast.com)
[/caption] Semua harapan saya kepada Jokowi seolah kembali mentah setelah menonton film dokumentar “Inside Job“. Saya baru sadar bahwa suatu sistem pemerintahan tidak bisa lepas dari cengkraman mafia-mafia keuangan. Film besutan Charles Ferguson ini menceritakan bagaimana krisis ekonomi di Amerika Serikat terjadi karena keserakahan Wall Sreet. Taipan-taipan keuangan berusaha untuk mengeruk keuangan lebih banyak dari daya yang mereka punya. Pelakunya adalah lima bank investasi,yaitu: Goldman Sachs. Morgan Stanley, Lehman brothers, Merrill Lynch dan Bear Stearns. Dua konglomerat financial, yaitu: Citigroup dan JP Morgan. Serta tiga lembaga pemberi rating, yaitu: Moody’s, Standard & Poor’s dan Fitch. Tiga pihak inilah yang diceritakan dalam film ini telah menyebabkan resesi ekonomi yang merambat menjadi resesi global. Lalu dimana peran pemerintah? Pemerintah sangat lemah dalam hal ini, karena para taipan keuangan itu cukup berkongsi dan melobi oran-orang mereka di kongres untuk dapat melahirkan undang-unfang yang dapat menguntungkan mereka. Masih menurut film inside job, lahirnya Gram – Leach – Bliley Act telah dapat mengalahkan Glass – Steagall Act yang akhinya bisa memuluskan mergernya Citicorp dan traveler menjadi Citigroup. Padahal hal ini bertentangan dengan Undang-undang Glass – Steagall Act. Inilah mahadahsyatnya kekuatan lobi para taipan keuangan itu terhadap penetapan suatu regulasi. Mengerikan. Bahkan seorang alan Greenspan bisa menjadi  Chairman of the Federal Reverse of the United States selama beberapa periode! Mengingat sebelum diangkat Ronalad Reagan, Alan Greenspan terlibat dalam pemalsuan isi rekomendasi kepada regulator mengenai bisnis yang dijalankan oleh Charles Keating. Ironisnya: Keating masuk penjara dan Alan Greenspan malah diangkat menjadi ketua The Federal Reserve . Luar biasa!

Lalu apa hubungannya dengan Jokowi?

[caption id="" align="aligncenter" width="466" caption="Jokowi (http://www.rimanews.com)"][/caption] Ketika menonton "Inside Job", mata saya terbelalak ketika mendengar komentar Robert Graizda. Dia sangat skeptis dengan janji kampanye Obama yang menyinggung tentang ketamakan di Wall Street dan berjanji akan mereformasi sistem keuangan negaranya, mengubah budaya di Wall Street dan sebagainya. Janji kampanye tinggallah janji kampanye, untuk hal yang krusial seperti badan pemberi rating, Obama tidak memberikan perubahan yang berarti. Karena “It’s the Wall Street’s Goverment!” ujar Robert, bukan pemerintah yang punya kuasa tapi uang. Hal ini diperkuat dengan Obama menunjuk Timothy Geither sebagai menteri keuangan Amerika Serikat. Timothy merupakan bekas Presiden Federal Reserve New York, bahkan untuk penasihat ekonominya Obama menunjuk Larry Summers. Tidak cukup sampai disitu, Obama bahkan pada tahun 2009 mempekerjakan kembali Ben Benrnanke sebagai Presiden Federal Reserve. Pemerintahan kembali ke status quo, kembali di bawah bayang-bayang petinggi Wall Street. Ya, Obama yang populer tetap tidak dapat berdaya atas Wall Street. Berkaca akan sejarah, maka wajar saya bersikap apatis dan skeptis Jokowi bisa merubah Jakarta. Betul Jokowi berhasil sebagai Walikota Solo, namun (tanpa bermaksud merendahkan Kota Solo) ini adalah Jakarta. Terlalu banyak kepentingan yang bermain di Jakarta. Di kota ini bersarang para mafia dan birokrat busuk yang menyempurnakan predikat Jakarta sebagai kota Megapolitan dengan sejuta permasalahan yang kompleks. Obama sukses sebagai Senator, namun jauh dari sukses jika tolok ukurnya kita lihat dia sebagai presiden. Karena memang yang mereka jual sejak kampanye adalah pencitraan. Pencitraan bisa menarik simpati pemilih, namun suara saja tidak cukup kuat untuk bisa digunakan merubah negara.

Status Quo

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Jakarta Bukan Milik Rakyat (http://www.suratkabarrbn.co.cc)"][/caption]

Maka saya tidak akan heran jika nanti kebijakan-kebijakan Gubernur Jokowi hanya akan mengakomodir kepentingan kelompoknya. Saya juga tidak akan heran jika nanti Jakarta berada di tangan beliau hanya sekedar berganti cangkanga saja dengan borok yang sama atau mungkin lebih parah di dalamnya.

Jangan heran jika Jakarta akan tetap seperti ini lima atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Sekali lagi saya sangat tidak yakin Jokowi bisa menghancurkan mafia-mafia ibukota yang sudah sangat akut, bisa mengubah wajah birokrasi di Jakarta, mengusir macet dan banjir atau bahkan minimal menghilangkan korupsi pada saat pembuatan KTP. Bagi saya Jakarta Baru hanyalah sebuah slogan utopis, tidak kurang tidak lebih. Sekian. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun