Mohon tunggu...
Muhammad Dwi Prayoga
Muhammad Dwi Prayoga Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 2011.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bekakak, Ritual Penyembelihan Manusia

28 Desember 2012   04:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:55 4116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini (28/12) kawasan Gamping, Sleman, Yogyakarta ramai dipenuhi orang-orang dari Yogyakarta sendiri maupun dari luar daerah tersebut. Tujuan orang-orang datang kesana adalah untuk menyaksikan sebuah upacara adat tahunan yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat daerah tersebut.

Dari berbagai macam upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, upacara Bekakak boleh jadi salah satu upaca adat yang menarik untuk diulas. Upacara Bekakak dilaksanakan di desa Ambarketawang, Gamping. Upacara ini juga disebut sebagai upacara Saparan. Disebut Saparan karena dilakukan tiap bulan Sapar, bulan kedua menurut hitungan kalender Jawa dan dilakukan pada hari Jumat antara tanggal 10 hingga 20 tiap bulan Sapar.

Upacara Bekakak dimulai sejak era pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (Pengeran Mangkubumi). Bekakak sendiri berarti penyembelihan pengantin manusia. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, upacara Bekakak berawal dari penggalian batu kapur untuk membangun keraton Yogyakarta. Namun, proses penggalian ini selalu saja menelan korban nyawa.

Mengetahui banyaknya penggali yang menjadi korban, Sultan HB I pun bertapa di gunung Gamping untuk mencari petunjuk perihal masalah tersebut. Dalam tapanya, Sultan HB I mendapatkan wangsit dari jin penuggu tempat itu. Penunggu tesebut bekata bahwa berhubung warga selalu menggali kapur di kawasan Gunung Gamping, penunggu daerah tersebut meminta tumbal berupa sepasang pengantin. Bila hal itu tidak dipenuhi, maka para penggali kapurlah yang selalu akan menjadi korbannya.

Sultan pun mengiyakan permintaan dari penunggu Gunung Gamping. Namun, berhubung Sultan HB I adalah seorang yang cerdas, beliau melakukan muslihat dalam memenuhi permintaan tersebut. Sultan membuat sepasang boneka pengantin untuk dikorbankan di Gunung Gamping. Boneka tersebut dibuat dari tepung ketan dan sirup gula merah. Tipuan itu berhasil. Sejak itulah setiap tahun upacara penyembelihan sepasang boneka pengantin ini diperingati di desa Ambarketawang.

Upacara adat Bekakak juga dilaksanakan sebagai sarana untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat dihindarkan dari bencana. Wujud upacara tersebut beupa penyembelihan bekakak yang dilengkapi beberapa perangkat upacara lainnya seperti ingkung ayam (ayam yang dimasak secara utuh), tumpeng, jajan pasar, sesaji, dan lain sebagainya.

Biasanya upacara adat ini dimulai pada pukul 14.00 WIB di balai desa Ambarketawang atau di lapangan lalu dilanjutkan dengan kirab budaya membawa arak-arakan bekakak menuju Gunung Gamping yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari balai desa Ambarketawang untuk akhirnya disembelih di sana. Biasanya, di sepanjang jalan arak-arakan bekakak dibawa, orang-orang memadati jalanan tersebut untuk sekedar menonton atau mengabadikan momen dalam foto. Jadi para penonton tidak terpusat pada Gunung Gamping saja.

Tidak terlalu sulit untuk mencari di mana lokasi desa Ambarketawang. Cukup bertanyalah pada orang di jalan letak desa Ambarketawang, Gamping atau Ringroad Gamping. Daerah tersebut tidak terlalu jauh dari pusat kota Yogyakarta, jadi akses menuju kesana pun mudah. Untuk menonton upacara ini, pengunjung tidak dipungut biaya sepeserpun.

Setelah puas menyaksikan upacara Bekakak, pengunjung dapat melanjutkan perjalannya ke Kabupaten Wates, Kabupaten Sleman, atau Kota Yogyakarta untuk mengunjungi obyek wisata yang terdapat di masing-masing daerah tersebut dengan keunikannya masing-masing.

Demikianlah sekilas ulasan tentang upacara adat bekakak yang masih eksis dan dijaga kelestarianya oleh masyarakat Yogyakarta ditengah arus budaya dari luar yang masuk ke Indonesia. Yogyakarta memang selalu Istimewa.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun