Panas begitu terasa. Ditambah suasa hening tak begitu ramai seakan menambah kesan bahwa siang itu sudah menunjukkan jam terakhir sekolah. Rasa kantuk, lelah, lapar dan suntuk dirasakan semua murid setelah hampir 5 jam mendengarkan guru berargumentasi. Yang kini mereka tunggu hanyalah teriakan bel pulang, pertanda bahwa semua pelajaran telah selesai. Dan memberikan kebebasan kepada mereka semua untuk kembali ke peraduan masing-masing.
“TETTT….TETTT..TET…!!”
Bel itu akhirnya berteriak. Teriakan bel itu sontak membangunkan seorang bocah kelas 4 SD yang tengah menengadahkan kepalanya di atas sebuah bangku sekolah. Tidur ?? iya memang tidur. Maklum, jam terakhir tadi guru pengajarnya tak masuk kelas. Akhirnya bocah ini memilih untuk tidur. Menenangkan pikirannya sejenak. Mukanya kusut. Menandakan bahwa dari tadi dia tertidur pulas. Matanya merah. Rambut acak-acakan bak penyanyi metal baru selesai konser. Dan Bajunya yang sudah tak rapi karena terlipat. Bocah ini bernama liam. Seorang bocah dengan kesederhanaanya. Menerima semua yang ada pada dirinya. Humoris, idealis dan tentunya ambisius.
Liam melihat jam dinding kelasnya. Pukul 12.00. Pertanda bahwa dia harus pulang. Semua buku dan alat-alat tulisnya yang semuanya bergambar spongeboob dimasukkan kedalam tas. Hanya menyisahkan sebuah topi kusam yang mereknya sudah tak terlihat. Maklum topi ini sudah hampir 4 tahun menutupi kepala liam dari kepanasan. Kenapa tidak beli ?? tak ada uang untuk membelinya. Sepatunya saja bawahnya bolong. Dan itu sudah dari kelas 1 SD. Bagi liam membeli topi dan sepatu itu urusan belakangan. Yang terpenting dia bisa sekolah. Menikmati aroma pendidikan bersama bocah seumurannya.
“kau masih mau menunggu ibumu ??” Tanya deva yang merupakan teman akrabnya
“iya dev, aku harus menunggu ibuku” jawab liam.
“baik kalau gitu aku duluan ya,”
“iya dev, hati-hati”
Setiap pulang sekolah, liam memang tak langsung pulang. Dia punya sebuah rutinitas unik. Menunggu ibunya pulang dari kerjanya sebagai penjahit sepatu keliling. Dimana jam pulangnya hampir sama seperti jam pulang sekolah liam. Tempat liam biasa menunggu ibunya pulang adalah di sebuah persimpangan. Disitulah setiap hari liam menunggu ibunya pulang, tak peduli seberapa lama dia harus menunggu. Yang paling penting baginya adalah harus menemani ibunya pulang dengan selamat sampai ke rumah. Nampak begitu sayangnya anak kecil ini terhadap ibunya, maklum di usianya yang menginjak kelas 5 SD ini dia hanya tinggal bersama ibunya. ayahnya meniggal saat liam masih kelas 2 SD. Sekarang yang dia punya hanyalah seorang ibu, yang begitu dia sayangi dan akan selalu dia jaga.
Jarak sekolah liam ke persimpangan cukup jauh. Kurang lebih dia harus berjalan satu setengah kilometer. Jarak yang bagi sebagian anak SD seumuran dia cukup jauh bila ditempuh dengan jalan kaki. Tapi bagi seorang liam jarak seperti itu sudah biasa. Karena dilakukan dengan ikhlas dan penuh kasih sayang.
Hari ini tepat ibu liam berumur 30 tahun. Sebuah usia yang bagi liam sangat kasihan melihat ibunya tiap hari harus berkeliling menawarkan jasa untuk menjahit sepatu. Dua hari yang lalu timbul pemikiran di benaknya untuk memberikan sesuatu kepada ibunya. Entah apa itu. Celengan ayamnya sudah dia pecahkan. Hasil menabung selama beberapa bulan-bulan terakhir. Jumlahnya 20 ribu. Sedikit ?? bagi liam uang segitu sudah lumayan banyak. Yang jadi pertanyaan,bagaimana menyenangkan hati ibunya dengan uang 20 ribu. Entahlah…
10 menit liam berjalan, separuh perjalanan pula telah dia tempuh. Panasnya aspal jalanan. Bau asap kenalpot kendaraan bermotor ditambah ganasnya panas matahari. Tak menggendorkan semangat liam untuk terus berjalan. Melangkahkan kaki mungilnya. Sambil mengusap peluh keringat dengan dasi kusut yang dipakai. Melihat isi toko di sepanjang jalan. Mungkin ada sesuatu yang bisa dia beli untuk diberikan kepada ibunya. Jejeran Baju, kumpulan tas, deretan sepatu, aneka makanan dan minuman, gantungan topi-topi, apa lagi ?? entahlah... Sejauh ini hanya itu yang Nampak. Matanya semakin tajam menerawang isi toko.Dari yang kecil sampai yang tinggi semuanya dia lihat. Sampai tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah toko pakaian. Tapi Kali ini bukan untuk baju ataupun celana, melainkan pada sebuah kerudung berwarna merah yang tak begitu mewah tapi cocoklah untuk dipakai ibunya. Liam pun berjalan menuju toko itu. Nampak di dalam toko banyak para ibu-ibu sedang belanja. Meliahat hal itu liam ragu. Lanjut membeli kerudung itu atau pergi mencari toko yang lain. Akhirnya tanpa pikir panjang, dia pun masuk ke dalam toko pakaian itu. Gugup ?? pasti. Semua disekelilingnya hanyalah ibu-ibu yang sedang sibuk memilih baju. Masa bodoh bagi liam. Dia ingin cepat-cepat keluar dari toko itu. Segera memberikan hadiah untuk ibunya. Akhirnya, seorang penjaga toko menghampiri liam yang sedang bingung.
“adek kecil mau beli apa ??” memperlihatkan kesopanannya sebagai penjaga toko
“kalu kerudung yang warna merah itu kira-kira berapa ya mbak ??” Tanya liam dengan sedikit gugup. Maklum, ini adalah pengalaman pertama baginya membeli sesuatu sendirian. Biasanya ibunya selalu menemani
“ohh yang itu dek, harganya 20 ribu” jawab penjaga dengan ramahnya.
mendengar hal itu, liam sangat lega. Uangnya ternyata cukup untuk membelikan ibunya kado.
“yasudah. Itu dibungkus mbak. Saya mau beli yang itu.” Pintanya Seraya tersenyum
Penjaga toko itu kemudian mengambil plastik untuk membungkus kerudunng yang dipesan liam. Setelah itu memberikan bingkisan itu dan meneriam uang dari liam. Liam pun menerima bingkisan itu dan keluar dari toko itu. Di lauar toko, dia mengambil spidol dari dalam tasnya. Mencari tempat yang teduh. Mengambil kerudung itu dari dalam plastiknya. Dan menulisnya dengan kalimat “SAYANG IBU”. Kalimat yang tiap hari liam ucapkan kepada ibunya sebelum berangkat sekolah. Sungguh anak yang baik……. Setelah itu liam kembali melanjutkan perjalanannya. Ingin cepat sampai di persimpangan. Dan bertemu ibunya.
Hampir 20 menit kiranya dia berjalan, akhirnya dia tiba di persimpangan. Nampak lalu lalang kendaraan bermotor sangat ramai saat itu. Maklum, persimpangan ini merupakan jalan utama di daerah tersebut. Nampak siswa-siswi SMP dan SMA yang mondar-mandir sehabis pulang sekolah. Pengamen yang sudah memanggul gitarnya pertanda hari ini dapat banyak duit. Tukang becak yang mulai meminggirkan becaknya pertanda ingin tidur. Dan tentunya mang Ojo, si penjual es yang hampir tiap hari esnya di kerumuni pelanggannya. Seperti biasa Liam kemudian duduk di kursi panjang dibawah sebuah papan reklame dekat mang ojo. Disitulah tiap hari dia duduk untuk menunggu ibunya datang. Di sebuah kursi panjang yang umurnya lumayan tua. Reot. Hampir patah. Mungkin tak ada satu pun yang bersedia memperbaiki. Karena kegunaannya juga tak terlalu penting. Mungkin hanya untuk tempat liam duduk tiap hari.
Liam tak tahu hari ini ibunya akan datang dari sebelah mana, karena tiap hari ibunya datang dari arah yang berbeda, kadang dari barat, kadang utara dan kadang selatan. Hatinya coba menebak, hari ini ibu akan datang dari sebelah utara. Entah betul atau tidak……….. Cuaca saat itu sangat terik, nyaris tak da awan sama sekali, langit biru terhampar bersih membuat sang matahari leluasa memancarkan panasnya. Liam mulai kehausan, sangat Nampak dari raut mukanya yang mulai lesu. Tak heran memang, hari itu matahari begitu ganas. Sampai-sampai es Mang Ojo ramai di kerumuni pembeli.
“belum datang ibunya toh ???” Tanya mang ojo yang dari tadi gerobak esnya sedang dikerubungi para pembelinya
“belum mang, mungkin bentar lagi” jawab liam dengan tersenyum
“ini minum” Mang ojo menyulurkan sebungku es yang Nampak segar
“loh, enggak usah mang” liam menolaknya karena merasa tak nyaman dengan mang ojo
“udah ambil aja, hitung-hitung sedekah Mang ojo buat Liam. hari ini semua dagangan mang ojo laku terjual habis” sambung mang ojo seraya meletakkan sebungkus es tersebut di tangan liam.
Merasa ingin menghargai mang ojo, Liam pun mengambil es tersebut.
“terima kasih banyak mang”
“iya gus, mang pulang dulu ya”
“iya, hati-hati mang”
Mang ojo kemudian pulang dengan gerobak esnya yang sudah ludes terjual. Mang ojo dengan Liam memang sudah lama kenal, maka tak jarang Mang ojo memberikan liam es Gratis apabila esnya laku terjual. Liam Nampak menikmati sebungkus es segar yang diberikan oleh mang ojo. Baginya es tersebut sudah mengobati rasa hausnya yag dari tadi dia rasakan.
Menit demi menit pun berlalu, sebungkus es itu sekarang hanya menyisahkan plastiknya. Liam memang sanga haus. Maka tak heran jika es itu habis dalam hitungan menit. Haus sudah hilang. Sekarang liam kembali menunggu ibunya datang. Cukup lama dia menunggu, Tapi batang hidung ibu belum muncul juga. Liam melihat kea rah utara Nampak hanya gerombolan tukang ojek yang sedang menunggu datangnya penumpang. Melihat kea arah selatan, malah bu ida yang sedang sibuk menjajakan makanannya. Dan menghadap ke arah barat, yang ada hanyalah jejeran toko kaset yang tak henti-hentinya menyetel lagu sepanjang hari. Liam melihat jam yang ada di sebuah toko dekat dirinya duduk, jam menunjukkan pukul 13.00. artinya sudah 1 jam dia menunggu ibunya. Kekhawatiran mulai menyelimuti pikiran liam, tak biasanya jam segini ibunya belum datang. Dia mulai bangkit dari duduknya, mondar-mandir di pinggir jalan sambil memegang bingkisan hadiah tadi. Khawatir dengan ketidak datangan ibunya. Tapi tiba-tiba…..tangan liam tersikut oleh seorang pengendara sepeda motor yang melaju kencang, tangannya sedikit terpental. Dan apa yang terjadi ?? . pengendara sepeda motor itu malah kabur seolah tak terjadi apa-apa. Liam Nampak kesal dengan kejadian tadi. hampir saja baginya terserempet. Untung Tuhan baik menyelamatkan liam. Tapi…..bingkisan ???. dimana ? dimana bingkisan itu. Tangan liam sudah kosong tak memegang apapun. Liam sempat kebingungan dengan tidak adanya bingkisan itu. Tapi tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah kubangan. Dan bingkisan itu ?. ada pada kubangan. Oh tidak, bagaimana dengan kerudung itu ? tulisannya ?. dengan cepat liam mengambil bingkisan itu dari dalam kubangan. Nampak plastik yang tadinya putih, sekarang berwarna hitam. Hitam yang menyebalkan. Lalu isinya. Dengan pelan-pelan liam membuka dan mengambil kerudung itu dari dalam plastik. Rusak ? tidak. Robek ? juga tidak. Hanya saja sebagian kerudung itu terkena kubangan air itu.kotor dan sedikit bau. Betapa terpukulnya hati liam melihat semua ini. Kecewa. Gelisah. Dan juga sedih. Semua hal itu berbaur menjadi satu. Sekarang dia bingung, apa yang harus dilakukan. Beli lagi ?? tak mungkin. Menangis ?. ya setelah itu liam memang menangis. Meratapi hadiah yanga akan diberikan kepada ibu yang sangat disayangi. Musnah. Kenapa semua harus terjadi. Apa salahnya. Berbulan-berbulan menabung. Dan hasilnya seperti ini. Liam masih menangis. Melipat kerudungnya lagi. Dan berharap ibunya tak kecewa dengan pemberiannya. Sekarang dia menunggu kedatangan ibunya dengan perasaan tak sebahagia sebelumnya. Menunggu dan menunggu. Dan akhirnya….tepat dari arah utara ibunya datang. Sesuai prediksi liam. Tapi liam tak memperlihatkan raut senang. Dengan membawa tas berisi barang-barang penjahit sepatu, ibu pun semakin dekat menuju liam. Liam tetap saja termenung. Sedih dan kecewa. Baginya percuma, ibu tak akan mau menerima pemberiannya.
Langkah kaki ibu dari tadi akhirnya mengantarkannya di depan bocah kesayangannya.
“hey anak ibu kok gak kayak biasanya. Biasanya ngeliat ibu datang dari jauh langsung berdiri kegirangan. Sekarang sampai ibu nyampek di depannya kok biasa-biasa saja ??” bertanya dengan diikuti senyuman khasnya.
“tidak apa-apa bu…..” menundukkan mukanya. Dan meletakkan bingkisannnya dibelakang tubuhnya.
Kemudian ibu yang tadinya berdiri, sekarang duduk sejajar liam. Mengangkat mukanya yang menunduk
“kau kenapa liam ? apa yang terjadi padamu ?” ibu mulai khawatir pada liam
Liam hanya menggelengkan kepalanya
Mata ibu terttuju pada bingkisan di belakang badan liam.
“dan itu apa ??” rasa khawatir tadi sekarang bercampur dengan keheranan. Heran terhadap bingkisan itu
Dengan sedikit takut dan gugup, liam pun memberikan bingkisan itu. Ibu mengambl dan melihatnya.
“kerudung ? buat apa liam beli kerudung ? ” ibu nampak semakin heran
“itu hadiah ulang tahun untuk ibu. Liam membelinya tadi di toko. Uang celengan selama beberapa bulan ternyata hanya cukup membeli itu. Tadinya kerudung itu tidak seperti itu. Tapi malah jatuh ke kubangan air karena ke slempet orang. Jadi kotor dan bau. Maaf bu…..” jawab liam dengan terbata-bata karena masih sedikit menangis
Ibu tersenyum. Dan perlahan air matanya menetes. Air mata haru. Haru melihat perbuatan anaknya. Ibu mengusap air mata liam. Merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan karena menangis tadi.
“terimakasih nak. Ibu sangat bangga punya anak seperti kamu. Kau sungguh malaikat kecil yang Tuhan ciptakan untuk Ibu. Ibu sayang kamu. ” memeluk si liam erat-erat. Pelukan penuh cinta dan kasih sayang. Meredamkan kegundahan hati yang liam rasakan. Setelah itu ibu langsung memakai kerudung yang di berikan liam. Tak peduli dengan kotor dan baunya kerudung itu.
“sudah liam jangan nangis. Anak ibu kan gak cengeng. Senyum dong”. Sekali lagi menghapus air mata liam. Liam pun tersenyum bahagia. Ternyata ibunya senang dengan pemberiannya. Usahanya tak sia-sia.
Setelah itu ibu membelikan liam es krim dari hasilnya bekerja selama seharian tadi. dan mereka berjalan pulang menuju rumah peraduan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H