Posisi Indonesia adalah menjadi salah satu negara yang sangat menjunjung tinggi perdamaian dunia, sikap ini sangat tegas tertulis dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945). Salah satu contoh peran nyata Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia adalah pengiriman pasukan perdamaian "Kontingen Garuda" Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam berbagai konflik di dunia. Hal tersebut memperlihatkan peran vital TNI yang tidak hanya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi juga menjaga stabilitas perdamaian secara global.
Kebijakan Indonesia yang berorientasi pada perdamaian tidak semata-mata akan membuat Indonesia terbebas dari konflik/sengketa dengan negara lain. Berdasarkan sejarah, Indonesia beberapa kali berkonflik dengan negara lain, misalnya sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan (Malaysia), sengketa Pulau Pasir (Australia), dan Sengketa Laut Natuna Utara atau Laut Cina Selatan (Tiongkok). Terkait sengketa Kawasan Natuna Utara dengan Tiongkok, sampai artikel ini ditulis, konflik dengan Tiongkok masih terus berlanjut. Permasalahan berkaitan dengan klaim nine-dash line dari Tiongkok yang bersinggungan dengan wilayah Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sangat jelas bahwa klaim Tiongkok yang didasarkan dari sejarah bertentangan dengan kaidah Hukum Internasional.Â
Selanjutnya, apabila berbicara tentang bidang pertahanan/militer, salah satu pernyataan yang paling terkenal adalah adagium Si Vis Pacem Para Bellum, yang berarti "Jika mendambakan sebuah perdamaian, maka bersiap-siaplah menghadapi peperangan". Pernyataan tersebut secara langsung memuat pesan bahwa kesiapan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI adalah hal yang sangat fundamental guna menjaga kedaulatan dan stabilitas perdamaian di Kawasan. Tiongkok sebagai salah satu aktor utama konflik di Laut Natuna Utara memiliki kekuatan militer yang kuat dalam mendukung klaim nine-dash line-nya tersebut. Dengan demikian, keberadaan Alutsista TNI sangat diperlukan tidak hanya untuk menjaga kedaulatan, tetapi juga sebagai bargaining position diplomasi dalam penyelesaian konflik.  Â
Berbicara tentang Alutsista, Indonesia melalui Kementerian Pertahanan telah menjalankan program Minimum Essential Force (MEF) secara berkesinambungan sejak tahun 2010, sebagai standar kekuatan pokok minimum TNI. Sejatinya, MEF dibagi dalam tiga tahap, yakni tahap pertama (tahun 2010-2014), tahap kedua (tahun 2015-2019), dan tahap ketiga (tahun 2020-2024). Namun, dari data Laporan Capaian Kinerja Tahun 2019 Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), capaian MEF tahap II secara keseluruhan hanya sebesar 63,19% dari target 75,54%. Berdasarkan data tersebut, target pemenuhan MEF sampai tahun 2024 sekiranya akan sulit tercapai, terlebih juga dengan adanya Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) pada tahun 2020 yang membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diprioritaskan secara lebih pada sektor kesehatan.
Apabila dilihat berdasarkan alokasi APBN yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2024, pada dasarnya anggaran Kementerian Pertahanan menempati peringkat tertinggi kedua setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yakni mencapai mencapai 139,27 Triliun Rupiah. Namun, anggaran Kementerian Pertahanan paling besar tersedot untuk keperluan belanja pegawai, bukan modernisasi Alutsista. Oleh karena itu, dalam usaha percepatan modernisasi Alutsista TNI untuk mengejar target MEF, Pemerintah Indonesia melaksanakan pengadaan Alutsista menggunakan skema pinjaman luar negeri.
Pada dasarnya, skema pinjaman luar negeri memang mengatasi permasalahan anggaran modernisasi Alutsista, tetapi proses pembelian Alutsista sampai barang ready to use memerlukan waktu tunggu yang lama. Perlu adanya negosiasi pembelian dengan produsen, persetujuan pembiayaan antarkementerian, produksi barang, pelatihan personel, pengujian, dan pada akhirnya sampai dengan serah terima Alutsista. Sebagai contoh, pengadaan pesawat tempur Rafale dari Prancis memerlukan waktu empat tahun sejak kontrak efektif, sedangkan Frigate Merah Putih (Arrowhead) hasil kerjasama PT PAL dengan Rosyth Royal Dockyard Ltd (Babcock) memerlukan waktu enam tahun sejak kontrak efektif. Selain itu, beberapa jenis Alutsista bahkan juga belum terlihat progres pengadaan untuk menutup gap target MEF, misalnya penambahan jumlah Kapal Selam, pengadaan pesawat Airborne Early Warning and Control (AEW&C) dan pengadaan Surface to Air Missile (SAM) jarak jauh.
Keberadaan Alutsista sangat fundamental dalam menghadapi ketidakpastian kondisi di Kawasan Laut Natuna Utara. Sebagai contoh, selama ini TNI seringkali bersitegang dengan Kapal Coast Guard Tiongkok. Walaupun secara teori Kapal Perang unggul dari Kapal Coast Guard, tetapi pada kenyataannya di lapangan Kapal Republik Indonesia (KRI) yang dimiliki oleh TNI secara endurance dan teknologi dapat disaingi oleh Kapal Coast Guard Tiongkok. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi Tiongkok yang menghadirkan Kapal Coast Guard dengan spesifikasi mirip frigate, yakni dengan tonase besar dan dibekali meriam standar Kapal Perang. Pada masa mendatang, Tiongkok mungkin saja mengerahkan aircraft carrier, destroyer, frigate, dan corvete untuk mengusik kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, pemenuhan MEF diperlukan bagi TNI sehingga memiliki kekuatan yang sebanding untuk melawan hegemoni Tiongkok.
Konflik yang mengarah kepada skala lebih besar dapat terjadi kapan saja, bahkan dapat menarik keikutsertaan negara adidaya macam Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Belajar dari konflik Rusia dan Ukraina yang juga menarik keikutsertaan North Atlantic Treaty Organization (NATO) serta AS, Indonesia sudah sepatutnya waspada terhadap potensi eskalasi konflik masa depan di Laut Natuna Utara. Lebih lanjut, AS beserta Australia dan Inggris juga telah membentuk AUKUS sebagai tandingan untuk melawan hegemoni Tiongkok di Kawasan Asia-Pasifik. Jelas, hal tersebut juga menjadikan posisi Indonesia berada di tengah-tengah dua kekuatan besar yang saling bersaing satu sama lain.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian, penguatan Alutsista TNI melalui program MEF merupakan upaya memberikan deterrence effect dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas kawasan Laut Natuna Utara. Keberadaan Indonesia yang didukung dengan militer yang kuat akan menjadikan posisi diplomasi Indonesia diperhitungkan di kawasan, sehingga perlu dilakukan pengadaan Alutsista dalam mempercepat MEF secara efektif dan efisien. Selayaknya, masa damai dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Indonesia untuk membangun postur pertahanan sesuai blue print MEF. Dengan demikian, kedaulatan NKRI dan stabilitas kawasan di Laut Natuna Utara dapat terjaga dengan baik. Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H