Mohon tunggu...
Yoga Ramdani
Yoga Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - You know nothing, jon..

Pemerhati lini massa yang kebetulan bagian dari Korps Pegawai Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meretas Jalan Menuju Netralitas Birokrasi

25 Februari 2019   14:45 Diperbarui: 25 Februari 2019   15:30 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setiap perhelatan dan kontestasi politik elektoral digelar dinegeri ini pandangan miring selalu diarahkan kepada pegawai negeri sipil (baca:ASN), seperti trauma berkepanjangan ASN harus senantiasa di ingatkan untuk bersikap netral dan tidak memihak.  Padahal sebagai warga negara adalah hal yang amat wajar jika ASN ingin ikut merasakan sebuah pesta demokrasi 5 tahunan dengan mendukung calon calon yang berlaga, apalagi jika dikaitkan dengan hak politik sebagai warga negara dimana hak memilih adalah salah satu hak konstitusional yang dilindungi oleh UUD.

Menghadapi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif pada tahun 2019 ini tercatat sudah ada beragam peraturan dan produk hukum yang terbit dengan tujuan seragam: kurang lebih menekankan pentingnya netralitas PNS. Mulai dari UU Nomor 5 Tahun 20114 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilhan Gubernur, Bupati dan Walikota, PP Nomor 42 Tahun 2004 Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, Surat Edaran Menteri PAN-RB Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 27 Desember 2017 tentang Pelaksanaan Netralitas ASN pada Pilkada serentak, pemilihan legislatif, pemilihan presiden.

Birokrasi secara konseptual pada awalnya merupakan struktur yang menjembatani antara negara dengan kelompok kepentingan khusus (hegelian bureaucracy), pada perkembangan selanjutnya birokrasi sering dianggap sebagai pelaksana kebijakan politik (dikotomi politik-administrasi). Di Indonesia sendiri, Birokrasi dengan berbagai karakteristiknya sebagai pihak yang memiliki akses dalam berbagai sumber daya seringkali menjadi "alat" terdepan dalam memobilisasi "perubahan sosial". 

Dalam era demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, birokrasi seringkali menjadi obyek perebutan pengaruh dan kepentingan berbagai partai yang pada akhirnya banyak menimbulkan fragmentasi dan polarisasi. Wajah birokrasi sedikit berubah saat orde baru, dengan politik "massa mengambang" birokrasi berhasil didesain menjadi alat politik rezim itu sendiri melalui korps pegawai yang sering ditunjuk sebagai derivasi dari golongan karya misalnya, tak heran saat kejatuhan orde baru birokrasi juga dituding sebagai salah satu aktor yang harus dibersihkan.

Jika kita melihat secara struktur ketatanegaraan, birokrasi memang "tidak pernah" benar benar steril dari pengaruh politik, jika dalam trias politika birokrasi sering diidentikkan dengan eksekutif maka dalam praktik pemerintahan di indonesia birokrasi justru hadir di seluruh elemen baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif (sekretariat di masing-masing lembaga diisi oleh pejabat karir birokrasi). 

Kondisi ini juga diperparah dengan "kaburnya" batas antara lembaga kepresidenan sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara, masih ingatkah ketika sekaliber Menteri Sekretariat Negara dan Menteri Sekretariat Kabinet ikut dalam pembahasan dan penentuan koalisi serta calon wakil presiden yang lalu. Pola hubungan "politik-administrasi" inilah yang membuat birokrasi seringkali terkooptasi oleh kepentingan politik, dalam era desentralisasi politik melalui otonomi daerah praktik inilah yang kemudian melahirkan pelbagai permasalahan kepegawaian mulai dari rekruitmen, mutasi serta pengisian jabatan yang tidak sesuai.

Apabila kita ingin serius membenahi persoalan netralitas birokrasi, setidaknya perlu effort lebih yang dimulai dari tataran konstitusional sampai ke tataran praksis. Tawaran tawaran berikut merupakan sebuah ikhtiar untuk menyikapi posisi birokrasi yang ambigu namun dituntut harus senantiasi netral, steril, value free terhadap lingkungan yang mempengaruhinya.

Pertama, menyediakan payung hukum yang menjamin birokrasi terlepas dari pola "politik-administrasi", independensi birokrasi ini penting untuk memastikan hubungan antara pemerintah (politik) memang terpisah dengan birokrasi (administrasi negara). Lahirnya UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil negara dan turunannya berupa PP 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil secara eksplisit memang berupaya untuk membentengi ASN dari pengaruh politik misalnya dengan larangan menjadi anggota partai politik (yang sebenarnya sudah ada sejak PP Kepegawaian terdahulu), hal baru yang muncul kemudian adalah dengan hadirnya lembaga bernama KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan manajemen ASN serta menjamin berjalannya sistem merit didalam praktik-praktik menajemen ASN termasuk penerapan asas, kode etik, perilaku ASN. 

Keberadaan KASN ini secara tidak langsung "membatasi" keputusan keputusan politik yang kontroversial dalam pengisian jabatan publik, pada tahun 2017 setidaknya terdapat 1.372 rekomendasi berupa persetujuan, perbaikan maupun pembatalan keputusan terkait pengisian jabatan diseluruh level baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. temuan KASN tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa apabila birokrasi terus menerus berada dalam pola hubungan "politik-administrasi" atau dikatakan sebagai pelaksana kebijakan pemerintah yang notabene adalah aktor politik maka birokrasi masih akan terus terkooptasi oleh kepentingan politik, sehingga tidak heran pada setiap perhelatan dan kontestasi politik birokrasi akan selalu berada dalam posisi dilematis sehingga sulit diharapkan menjadi netral. Pemisahan birokrasi dari politik secara struktur bisa dimulai dengan memperjelasnya hubungan keduanya, dibanyak negara seperti Jerman, Jepang dan Filipina birokrasi secara hierarkis tidak bertanggung jawab kepada Kepala Pemerintahan namun kepada Kepala Negara (dalam praktik kenegaraan di Indonesia posisi ideal seperti adalah TNI).

Kedua, menghapus hak pilih ASN dalam setiap kontestasi elektoral disemua level pemerintahan. Wacana ini terdengar konyol namun sebagai sebuah terobosan, penghapusan hak politik ASN ini sebenarnya memilki berbagai alasan pembenar. Saat ini ASN memang berada dalam posisi dilematis, di satu sisi memilki hak politis namun disisi lain dituntut harus senantiasa netral. Keberadaan ASN (4,3 juta orang) dengan berbagai sumber daya yang dimilikinya tentu saja menarik untuk dimanfaatkan apalagi dengan pola hubungan "politik-administratif" seperti yang telah dibahas sebelumnya menjadikan birokrasi sebagai obyek yang tidak mempunyai pilihan ketika dihadapkan dengan subordinasi dan oportunisme politik. Menghapus hak politik ASN bukan saja akan menghilangkan "daya tarik" birokrasi untuk dimanfaatkan namun juga akan menjadikan birokrasi lebih "steril" karena tidak akan memiliki preferensi dan kepentingan apapun yang membuatnya terbebani dikemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun