Peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan G-30 S-PKI adalah salah satu babak kelam dalam sejarah Indonesia yang terus menarik perhatian banyak peneliti dan sejarawan. Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan dampak besar dalam bidang politik dan keamanan, tetapi juga membawa perubahan signifikan dalam struktur sosial dan komunikasi masyarakat Indonesia. Melalui lensa sosiologi komunikasi, kita dapat memahami bagaimana peristiwa ini membentuk dan dipengaruhi oleh dinamika komunikasi massa pada saat itu.
Latar Belakang G-30 S-PKI
Pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965, sekelompok tentara yang menamakan diri mereka Gerakan 30 September (G-30 S) menculik dan membunuh enam jenderal TNI Angkatan Darat. Peristiwa ini segera dianggap sebagai upaya kudeta yang diduga kuat didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto merespons dengan tindakan tegas terhadap PKI dan para simpatisannya. Ribuan orang ditangkap, dan ratusan ribu lainnya diperkirakan dibunuh dalam operasi pembersihan anti-komunis yang berlangsung setelahnya.
Propaganda dan Pembingkaian Media
Dalam kajian sosiologi komunikasi, propaganda berperan penting dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai peristiwa G-30 S-PKI. Media massa, yang saat itu dikuasai oleh pemerintah, dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi resmi yang menuduh PKI sebagai pelaku utama kudeta. Salah satu contohnya adalah film "Pengkhianatan G30S/PKI" karya Arifin C. Noer, yang diwajibkan untuk ditonton oleh siswa setiap tahun. Film ini menunjukkan bagaimana pemerintah menggunakan media untuk menanamkan ideologi tertentu dan membingkai peristiwa sesuai dengan agenda politik mereka.
Dinamika Komunikasi dan Konstruksi Sosial
Peristiwa G-30 S-PKI juga mengungkapkan bagaimana komunikasi massa bisa digunakan untuk membentuk konstruksi sosial. Dengan mengendalikan media dan pendidikan secara ketat, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan narasi dominan yang menyudutkan PKI dan memperkuat legitimasi mereka sendiri. Dalam teori konstruksi sosial, realitas sosial dibentuk melalui interaksi dan komunikasi. Dalam konteks ini, pemerintah Orde Baru memanfaatkan media untuk membentuk realitas sosial yang mendukung kekuasaan mereka dan membenarkan tindakan keras terhadap lawan-lawan politik mereka.
Dampak Terhadap Struktur Sosial
G-30 S-PKI juga memiliki dampak signifikan terhadap struktur sosial masyarakat Indonesia. Politisasi identitas dan stigma terhadap individu dan kelompok yang dianggap sebagai komunis menciptakan ketakutan dan perpecahan di masyarakat. Banyak keluarga dengan anggota yang dituduh terkait PKI mengalami diskriminasi sosial dan ekonomi yang berlangsung selama bertahun-tahun. Dalam perspektif sosiologi komunikasi, kita dapat melihat bagaimana stigma ini dipertahankan dan diperkuat melalui media dan komunikasi antarpribadi.
Refleksi Masa Kini
Melihat kembali peristiwa G-30 S-PKI melalui lensa sosiologi komunikasi mengingatkan kita pada peran penting komunikasi massa dalam membentuk persepsi dan realitas sosial. Hal ini juga menyoroti pentingnya media yang bebas dan independen dalam menjaga keseimbangan dan keberagaman pandangan dalam masyarakat. Di era digital saat ini, di mana informasi dapat dengan mudah diakses dan disebarkan, kita perlu lebih kritis dalam menerima dan menganalisis berbagai narasi yang ada.