Indonesia terus berusaha menemukan bentuk demokrasi yang paling sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politiknya. Demokrasi di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan pilihan antara berbagai sistem pemerintahan, tetapi juga mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan antara nilai-nilai tradisional dan tantangan modernitas.
Sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa negara ini pernah mengalami berbagai macam bentuk pemerintahan, dimana dalam setiap bentuk pemerintahan tersebut juga mengusung/menawarkan bentuk demokrasi, mulai dari demokrasi liberal era Republik Indonesia Serikat, berlanjut dengan demokrasi terpimpin dibawah komando Sukarno sebagai presiden.
Di jaman orde baru, Soeharto memperkenalkan istilah 'demokrasi pancasila' yang ternyata hanyalah sebuah demokrasi yang seakan-akan, bahkan Pancasila yang terbuka malah dibikin doktriner pada masa ini. Tidak berhenti disitu, muncul pula kesan 'jawaisasi' diseluruh tanah air. Franz Magnis-Suseno dalam berbagai tulisannya sering menekankan bahwa demokrasi di Indonesia harus berakar pada nilai-nilai lokal yang sesuai dengan Pancasila, sambil tetap membuka diri terhadap prinsip-prinsip universal seperti hak asasi manusia dan keadilan.
Salah satu tantangan utama dalam menemukan bentuk demokrasi yang sesuai untuk Indonesia adalah pluralitas masyarakatnya. Indonesia terdiri dari beragam etnis, agama, dan budaya yang membutuhkan pendekatan demokrasi yang inklusif dan partisipatif. Ini juga diakui oleh Magnis-Suseno, yang menyebutkan bahwa demokrasi yang sukses di Indonesia harus mengakui dan menghargai keragaman tersebut, sekaligus menghindari polarisasi yang dapat menyebabkan konflik (Franz Magnis-Suseno, Mencari Makna Kebangsaan).
Dalam konteks demokrasi Pancasila, harusnya sangat penting untuk memahami bahwa Pancasila sebagai landasan moral dan etis bagi kehidupan berbangsa. Demokrasi tidak hanya dipahami sebagai sistem politik, tetapi juga sebagai cara hidup bersama yang didasarkan pada prinsip-prinsip seperti kemanusiaan, persatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat. Sebagaimana rumusan sosio-demokrasi yang diutarakan Sukarno pada 1 Juni 1945 yang juga merupakan kritik terhadap pelaksanaan demokrasi negara-negara barat yang hanya mengurusi kehidupan politik semata, hal demikian mengabaikan tata kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat.
Demokrasi menjadi relevan untuk Indonesia ketika demokrasi menekankan pada partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang tidak hanya melalui pemilu, tetapi juga melalui berbagai forum dialog dan musyawarah yang memungkinkan masyarakat menyuarakan aspirasinya. Bagi penulis, dalam hal ini pancasila tanpa demokrasi atau bahkan tanpa harus menggandengkan istilahnya sebagai demokrasi pancasila pun sebenarnya sudah merupakan sistem yang relevan, pancasila sendiri sudah melampaui demokrasi.
Pancasila tanpa didikte pemikiran barat toh juga sudah terdapat pengakuan HAM didalamnya, yang tentunya terdapat batasan-batasannya, bukan berarti batasan tersebut merupakan pengekangan-pengkerdilan tapi lebih pada perlindungan yang serta merta merupakan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam pancasila juga dapat dikatakan sebagai jawaban terhadap keraguan (untuk tidak mengatakan kecurigaan) Socrates terhadap demokrasi. (Klik untuk penjelasan)
Secara keseluruhan, upaya Indonesia untuk mencari bentuk demokrasi yang sesuai merupakan proses yang terus berkembang. Demokrasi yang ideal bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak hanya meniru model barat. tetapi lebih mengedepankan musyawarah-mufakat. Dengan begitu setiap RUU jangan hanya menunggu keputusan ketum parpol untuk disahkan, draftnya harus disosialisasikan secara masif ke masyarakat, perwakilan harus lebih mendengarkan rakyat ketimbang menunggu perintah ketum parpol.
Dalam konteks politik identitas, isu etnisitas, agama, dan kepentingan lokal sering kali menjadi faktor dominan dalam dinamika politik di Indonesia. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi pluralisme dan stabilitas demokrasi jika tidak dikelola dengan baik. Demokrasi di Indonesia memerlukan pendekatan yang mampu menyatukan berbagai kepentingan tanpa mengorbankan keadilan dan kebebasan kelompok minoritas. Politik identitas di Indonesia sering kali diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang ingin mendominasi atau memanfaatkan kekuatan politik untuk keuntungan pribadi atau kelompok (Ahmad Syafii Maarif, Democracy Project-Politik identitas dan masa depan pluralisme kita).
Dengan demikian, pancasila harus tetap menjadi pemandu dalam upaya mencari bentuk demokrasi di Indonesia. Lagi-lagi, tanpa perlu didikte oleh pemikiran barat, pancasila mampu menyeimbangkan hak individu dan kepentingan kolektif untuk menuju kesejahteraan sosial dengan menjaga harmoni antar individu maupun kelompok.