TELAGA RAMBUT MONTE
Hati siapa yang tak akan tergetar melihat keindahan dan pesona telaga Monte di Blitar. Lukisan alam yang cantik tersembunyi di desa Krisik. Desa yang berjarak sekitar 30 km dari pusat kota Blitar termasuk dalam wilayah Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar.
Krisik, sebuah nama yang unik yang membuat aku terusik untuk mengetahui asal-usul nama ini. Konon kisahnya, pada jaman Pangeran Diponegoro salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama mbah Sukoboyo melarikan diri ke Blitar dan melakukan babad alas untuk membuka lahan baru untuk tempat tinggal dan menyambung kehidupan setelah kekalahan Pangeran Diponegoro.
Ia memiliki keris pusaka. Keris yang dikabarkan pernah hilang ternyata ditemukan kembali. Kisah ditemukannya kembali keris pusaka yang hilang menjadi bahan pembicaraan penduduk, katanya kerise isik…kerise isik (kerisnya masih ada). Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Krisik.
Untuk mencapai lokasi tujuan wisata Telaga Rambut Monte ini kita akan melewati area perkebunan teh Bantaran dan area persawahan yang hamparan hijaunya menyejukkan mata, melenyapkan kepenatan raga. Jalanan yang berliku membuat perjalanan jauh dari rasa jemu, sepanjang perjalanan kita akan dibuai perasaan damai, meski harus naik dan turun bukit.
Disisi jalan terdapat lembah dengan sungai besar yang aliran airnya jelas terdengar. Sebuah dam menjaga arus air yang liar.
Meski tidak banyak persimpangan kami harus berkali-kali bertanya untuk memastikan bahwa kita tidak tersesat jalan, maklumlah tidak banyak arah pandu yang terpasang untuk menunjukkan dimana lokasi Telaga berada.
Kawasan wisata Telaga Rambut Monte selain menyajikan keindahan alam, disana juga terdapat peninggalan kerajaan Majapahit, meski yang tersisa hanya kaki candi (kamadathu). Area petilasan Rambut Monte dulunya merupakan tempat pemujaan para raja dan punggawa.
Sekarang, bermacam motivasi orang berkunjung ke lokasi ini, ada yang sekedar menikmati keindahan telaga yang ditengah-tengahnya terdapat mata air yang membiaskan warna biru bening, ada yang datang untuk bersemedi dalam hening.
Sesampainya di lokasi wisata ini, kami langsung menuju kolam yang cerita tentang keindahannya membuat rasa penasaran. Rasa penasaran seketika berubah menjadi seruan yang mewakili perasaan kagum yang tak dapat terkatakan. Telaga ini benar-benar mempesona.
Airnya bening tenang, bagian tengah kolam berwarna biru. Ikan yang berenang di air kolam terlihat begitu jelas seperti dalam akuarium. Permukaan air seperti cermin memantulkan bayangan pohon. Batang pohon seolah tumbuh dari dasar telaga.
Sebuah anjungan (gazebo) menjorok kearah telaga semakin menambah keindahan tempat ini.
Kamipun lantas asyik sendiri-sendiri berkeliling mencari tempat yang pas untuk mengambil gambar secara lengkap. Segala sesuatu dalam telaga menjadi obyek yang pantas untuk diabadikan. Sebatang pohon yang membujur di dasar telaga, ikan yang berenang kesana kemari, jajaran pohon pinus di pinggir telaga, semuanya menarik.
Menurut legenda, ikan dalam telaga disebut ikan dewa, ikan keramat yang menjelma dari murid-murid Mbah Rambut Monte yang dikutuk karena tidak mentaati perintahnya untuk menjaga batu candi Rahwana dan Naga. Rahwana dan Naga yang kalah dalam pertarungan dengan mbah Rambut Monte dikutuk menjadi relief monyet dan Naga.
Meski cerita tentang ikan dewa merupakan cerita legenda namun masyarakat percaya bahwa ikan Sengkaring (Senggering) ini keramat dan tidak boleh ditangkap karena dapat mendatangkan musibah.
Aku tertarik dengan cerita ini, oleh karena itu setelah puas menikmati keindahan telaga aku sengaja mencari kuncen yang menjaga tempat ini, berharap mendapatkan cerita rakyat yang lengkap.
Dari beberapa orang yang aku temui di warung yang ada di sekitar lokasi aku mendapatkan keterangan dimana bisa bertemu dengan sang kuncen. Ia tinggal di rumah di belakang batu candi.
Seorang laki-laki tua, sedang asyik duduk di pondok sambil memandang ke arah telaga. Bisa jadi selama kami dibawah, beliau mengawasi dari sana.
Setelah mengucap salam, bersalaman dan berkenalan kami ditawarinya untuk masuk kedalam rumah, namun kami memilih untuk mendengarkan ceritanya di tempat dia duduk sebelumnya, di bawah pohon di area terbuka.
Perawakannya kurus, wajahnya cekung, matanya tajam. Namanya Pak Kaseno. Hidup sendiri karena istrinya telah meninggal dunia.
Alih-alih menanyakan maksud kedatangan kami, beliau malah bercerita tentang tempat ini yang dikatakannya berbahaya (angker maksudnya). Sempat berdiri juga bulu kuduk mendengar cerita yang dituturkannya.
Terus terang aku sempat larut saat mendengar keangkeran tempat ini. Maklumlah dulunya desa krisik ini adalah hutan belantara “alas gung lewang-lewung jalmo moro jalmo mati (dimana orang yang datang akan mati karena keangkerannya*)”
Jadi, katanya melanjutkan cerita “disini gak boleh macam-macam, tidak boleh bicara sembarangan di sekitar telaga, karena bisa jadi setelah keluar dari tempat ini bisa celaka”
Orang yang datang kesini macam-macam tujuannya, ada yang datang untuk minta kaya.
“siapa saja bisa kaya asal mau kerja, usaha dan berdoa” katanya tanpa menunggu reaksiku atas cerita yang disampaikan.
Percakapan dengan pak Kaseno harus segera aku akhiri karena hari sudah mendekati malam.Kamipun lalu pamitan. Sebelum kami pergi, dia minta izin untuk masuk lagi ke dalam rumah sambil berkata: “ sebentar ya de’ ayu, isi buku tamu dulu buat kenang-kenangan”.
Setelah menuruti permintaannya kamipun mengucapkan salam perpisahan dan rasa terimakasih atas cerita yang sudah kami dengar.
“terimakasih ya pak, assalamualaikum…”
“Ya…, biar aman dan selamat sampai tujuan” katanya mendoakan.
[caption id="attachment_304920" align="alignnone" width="630" caption="seperti cermin"]
Terimakasih untuk Hari Budi Setyawan (Sejarah Desa Krisik Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H