Mohon tunggu...
Yoel EdwardHasugian
Yoel EdwardHasugian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, memiliki minat terhadap isu Hukum, Sosial dan Politik Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

RUU Penyiaran Mempersempit Persfektif?

26 Mei 2024   17:12 Diperbarui: 26 Mei 2024   17:12 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Vox Populi Vox Dei, sebuah adagium yang berarti "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan" yang menjadi ciri khas dari negara demokrasi. Indonesia menyatakan diri sebagai "Negara Demokrasi". Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu "demos" yang berarti rakyat dan "cratos" yang berarti kekuasaan. Artinya, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, secara singkat disebut KEDAULATAN RAKYAT. Di negara demokrasi, rakyat adalah penentu dari segala kebijakan politik.

Salah satu ciri ciri negara demokrasi adalah Keterbukaan Informasi, disamping Kebebasan Berpendapat. Lalu, apakah kedua ciri ciri negara demokrasi tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah terkait RUU Penyiaran? Bahkan beberapa orang berpendapat, sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) , kebebasan berpendapat sudah terancam. Terlihat dari pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang dianggap sebagai "pasal karet" karena tidak ada kejelasan bagaimana parameter "penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

UU Penyiaran yang masih berlaku adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Dilansir dari laman resmi KPI, salah satu tugas KPI adalah Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesui dengan Hak Asasi Manusia (Pasal 8 Ayat (3) huruf a UU Penyiaran). Pasal 6 Ayat (4) UU Penyiaran menetakan bahwa haruslah dibentuk sebuah komisi penyiaran (KPI). KPI dalam melaksanakan tugasya adalah objek pengawasan DPR di tingkat pusat dan DPRD di tingkat daerah.

Selanjutnya, mari kita bahas mengenai pers. Pers diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Pasal 2 dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa "Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan pirnsip prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum" dan pasal 4 ayat (1) mengatakan "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara". Artinya, kemerdekaan pers sendiri dijamin dalam undang undang dan mempunyai hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 

Perbincangan mengenai draf RUU Penyiaran menuai banyak kontroversi. Bahkan, sudah banyak aksi yang dilakukan untuk menolak RUU Penyiaran ini terutama golongan jurnalis dan pers. Mayoritas berpendapat RUU Penyiaran membatasi hak hak kebebasan pers mereka. RUU Penyiaran ini merupakan Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan ditargetkan oleh DPR akan selesai tahun ini. 

Beberapa pasal dalam revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran ini dianggap tumpang tindih dengan UU Pers. Pasalnya, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 Ayat (2) RUU Penyiaran memberikan kewenangan kepada KPI untuk menangani sengketa pers. Sedangkan fungsi Dewan Pers sendiri telah dijelaskan dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf d UU Pers bahwa Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan. Sebenarnya siapa yang berwenang menangani sengketa pers? KPI atau Dewan Pers? Apakah dengan berlakunya RUU Penyiaran ini akan mengalihfungsikan tugas Dewan Pers? 

Bukan hanya tugas Dewan Pers tumpang tindih. RUU Penyiaran ini juga membatasi kebebasan pers. Pasal 50B Ayat (2) dikatakan pers dilarang menyebarkan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Larangan itu tentu bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) UU Pers yang menyebutkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Beberapa orang berpendapat penyensoran dapat menghambat penindakan hukum, misalnya dalam hal korupsi. Selama ini, pers menjadi salah satu lembaga yang menjadi pengawas pemilik jabatan dan menjaga demokrasi tetap berjalan.

RUU ini menjadi polemik baru bagi golongan jurnalis dan pers. Sebabnya, selama ini tak sedikit jurnalis yang dijerat pidana dengan UU ITE.  RUU ini juga membatasi kewenangan KPI dalam mengatur tata kelola penyiaran. Misalnya KPI harus berkonsultasi dengan DPR. Hal itu dapat mengancam independensi KPI sendiri karena bisa diintervensi oleh DPR mengingat Pasal 7 Ayat (4) UU Penyiaran menyebutkan bahwa KPI diawasi oleh DPR dan KPID diawasi oleh DPRD.

Melihat banyaknya kontroversi dan penolakan dari masyarakat, jurnalis, pers hingga tokoh akademisi, sudah sepatutnya lembaga legislatif mempertimbangkan kembali Rencangan Undang-undang Penyiaran. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat diharapkan mampu mendengar dan merealisasikan harapan rakyat, apalagi kebebasan pers juga dilindungi oleh konstitusi khususnya Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28F UUD. Hal yang diharapkan tentunya melakukan peninjauan ulang terkait pasal pasal yang kontroversial, membedakan fungsi Dewan Pers dan KPI serta menjamin kebebasan pers.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun