"approach apa Pak?"
"Kamu! ditanya malah nanya balik!"
"maaf pak, ga denger"
"klo ga mau denger, KELUAR"
dan kelas pun hening... istighfar. saya sudah bersiap mengangkat badan saya untuk mengikuti perintah beliau, keluar kelas. Namun, saya teringat UAS yang tinggal 2xpertemuan lagi. Saya urungkan niat keluar kelas, saya tetap berpikir positif karena memang pada saat itu mood saya lagi bagus.
"diem az Yoe! dosennya lagi emosi ini. ga usah di tanggepin" pikir saya
Suasana kelas yang biasa rileks dan hangat pun berubah menjadi mencekam. Jujur saja, saya tidak pernah dibentak sekeras itu oleh orang tua, sahabat, teman-teman, guru, apalagi dosen yang notabenenya mengerti tentang psikologi pendidikan dan paham betul mengenai etika akademik. Siapapun (menurut saya), akan sakit hati bila diperlakukan demikian. Ketika saya menceritakan pengalaman saya kepada sahabat dan teman-teman terdekat pun mereka langsung bereaksi kesal terhadap perlakuan sang dosen yang terhormat ini. Bahkan salah seorang teman saya yang lawyer berkata
"harus d kasih pelajaran tu dosen kya gt. kena pasal 335 ayat (1), De..."
#jleb
wah, wah, reaksi teman-teman saya yang kesal itu menginspirasi saya untuk membicarakan masalah ini dengan Ketua Prodi agar dosen seperti ini dipertimbangkan tidak mengajar kembali, karena memang perilakunya yang sangat tidak patut.
Semoga saja, sang dosen emosional ini dibukakan pintu hatinya untuk mengubah sifat dan perilaku yang tak patut. Bagaimanapun, dosen adalah seorang pendidik tidak hanya (harus) memiliki kompetensi pedagogik, tapi juga kompetensi kepribadian, profesional dan sosial, sebagaimana tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2005.