Walter Elias Disney (1901 - 1966) memang sekiranya pantas dinobatkan sebagai manusia yang paling banyak membahagiakan anak-anak di seluruh dunia. Sebab, anak jaman now mana yang tak kenal film produksi Disney yang kebanyakan berada di papan atas film animasi. Finding Nemo, UP, Toy Story, Car, Big Hero 6, Inside Out, hingga yang teranyar COCO menjadi inspirasi bagi banyak anak.
Disney memang sangat piawai memproduksi film animasi, sebab semua garapannya pasti memiliki kualitas animasi yang memukau, namun yang terpenting adalah plot cerita yang mengaduk-aduk perasaan. Ayah yang mencari Nemo mengarungi samudera, remaja Russell yang bertualang bersama kakek Fredricksen dalam UP, dinamika perjuangan Lightning McQueen dari bukan siapa-siapa, menjadi pembalap top hingga menyerahkan podiumnya untuk sang murid, Big Hero 6 yang menceritakan kasih sayang kakak pada adiknya, rupa-rupa kepribadian dalam Inside Out, dan COCO.
Disney juga nampaknya gemar menyajikan budaya lokal dengan berpindah-pindah memilih tempat latar cerita, Finding Nemo di Great Barrier Reef, Australia, Car di California, Amerika, UP di Paradise Falls, Venezuela, Big Hero 6 di Jepang, dan COCO di Meksiko. Disney juga tak main-main dalam mencipta suasana melalui suara, lirik kuat dan aransemen indah sungguh menjadi syarat utama film Disney.
Kolaborasi antara kualitas animasi, plot cerita yang bagus, budaya lokal, dan backsound akhirnya menjadi khas animasi Disney. Maka tak heran, setiap kali animasi Disney diputar di bioskop, penonton mengular untuk menikmatinya, termasuk COCO yang diputar di Indonesia akhir 2017.
COCOÂ mengambil lokasi cerita di Meksiko, yang dalam kebanyakan film laga digambarkan sebagai negara "seram" penuh pembunuhan dan kartel narkoba. Peperangan melawan narkoba di Meksiko lebih seram daripada penggerebekan teroris di Indonesia, sebab aparat hampir selalu konflik senjata dengan para gembong. Pertikaian antar kartel juga tak kalah mengerikan dan menghilangkan banyak nyawa.
Maka, kematian di jalanan adalah hal biasa bagi orang Meksiko, mereka juga membuat altar dengan memajang foto keluarganya yang sudah meninggal beserta sesaji buah-buahan dan makanan sebagai bentuk doa. Pandangan orang Meksiko terhadap kematian juga sungguh berbeda, melaui Festival Hari Kematian justru mereka merayakan kematian di jalanan dengan memakai topeng tengkorak, seperti perayaan Halloween. Bahkan Festival Hari Kematian di Meksiko menjadi destinasi bagi wisatawan.
Miguel nekat, ia malah membuat "altar" di lokasi persembunyiaannya, loteng rumah, khusus bagi idolanya, Ernesto de la Cruz, seoarang musisi terkenal. Hingga dia melihat kesamaan antara gitar Ernesto dengan gitar dalam foto kakek buyutnya yang tak nampak wajahnya karena tersobek. Ia pun keluar dan menggugat neneknya, bahwa mereka adalah keturunan musisi, bukan pengrajin sepatu.
Miguel meminta izin untuk mengejar impiannya menjadi musisi dengan ikut lomba di alun-alun kota, namun neneknya marah besar dan membanting gitar Miguel. Remaja itupun ngambek dan pergi, namun ia masih berusaha untuk tampil dengan meminjam gitar pada banyak orang, dan ditolak semua. Demi impiannya, Miguel menyelinap ke makam Ernesto de la Cruz, sebab di makam itu dipajang gitar sang legenda.
Petualangan dimulai ketika Miguel dengan ajaib memasuki dunia orang mati dan melihat paman dan bibinya yang sudah meninggal. Miguel dan seluruh keluarga matinya kebingungan untuk mengembalikannya ke kehidupan nyata, hingga mereka kembali ke Land of The Dead (dunia orang mati) untuk bertemu Imelda, mama dari nenek buyut Miguel.
Imelda memberikan restu agar Miguel dapat kembali ke dunia nyata dengan syarat, meninggalkan musik. Miguel menolak dan terjebak dalam dunia orang mati, ia mencari Ernesto de la Cruz yang ia yakini sebagai ayah nenek buyutnya.