Mohon tunggu...
Yoanna Candra
Yoanna Candra Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

sedang belajar menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dicari: Kekasih Kaya Raya

18 Januari 2011   09:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:26 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku sedang berbaring sambil membaca buku di sofa. Siti memijat kakiku yang pegal-pegal karena tadi berdiri terlalu lama di toko buku. Terdengar telepon berdering-dering.

“Sit, tolong angkat teleponnya,” pintaku pada gadis berumur sembilas tahun yang sejak setahun lalu bekerja di rumahku.

Siti beranjak ke meja telepon. Kudengar ia berbicara beberapa saat.

“Mbak, dari mas Adi,” lapornya sambil cengar-cengir.

“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanyaku heran.

“Mas Adi lucu,” jawabnya masih nyengir.

Adi mengajakku pergi nonton. Aku menolaknya. Capek setelah putar-putar di toko buku. Ya sudah, lain kali saja, kata Adi.

Siti kembali memijat kakiku. Pijatan Siti lumayan juga untuk melemaskan otot-otot kakiku yang tegang. Aku merasa kantuk mulai menyapa ketika tiba-tiba terdengar suara Siti.

“Mas Adi itu baik ya, Mbak. Suka bercanda. He..he..he..” ujarnya membuyarkan kantukku.

“Kenapa mbak Grace nggak mau sama mas Adi? Mas Adi kan nggantheng, baik, dan lucu,” lanjutnya.

“Kamu suka ya sama Adi? Besok deh aku bilang Adi kalau Siti mau diajak nonton,” jawabku meledeknya.

Lho, jangan, mbak. Siti nggak minta diajak nonton kok,” tolak Siti cemas.

Aku tertawa melihat ekspresi wajah Siti yang lucu. Aku senang menggodanya karena Siti suka memuji-uji Adi. Memang sih, Adi orangnya baik dan lucu. Dan kelihatannya juga naksir aku. Sebenarnya sudah lama aku tahu. Tetapi aku selalu menganggapnya tak lebih dari seorang sahabat. Adi enak diajak ngobrol, leluconnya juga segar dan membuat orang yang mendengarnya tak bisa menahan tawa.

Adi adalah pria ke sekian yang mencoba menarik perhatianku. Tetapi, entahlah, aku tak pernah tertarik. Meski secara fisik oke, bahkan kami selalu nyambung bila ngobrol namun aku tak pernah merasa greng bila berada di dekatnya. Aku tak tahu bagaimana menerjemahkan kata greng ini. Pokoknya jantungku tidak berdebar-debar, tubuhku tidak berkeringat dingin dan napasku tidak sesak. Jika rasa greng benar seperti yang kubayangkan itu lalu apa bedanya dengan serangan jantung? Mungkin aku saja yang konyol membayangkan orang jatuh cinta seperti terkena serangan jantung.

Sebenarnya beberapa tahun lalu aku pernah dekat juga dengan seorang pria. Namanya Benny. Aku tak tahu apakah aku pacaran dengannya atau tidak. Benny tidak pernah menyatakan cinta padaku tetapi dia apel setiap malam Minggu. Benny tidak menemuiku setiap hari tapi ia meneleponku dua tiga kali sehari. Benny tidak romantis tapi tak pernah membuatku menangis. Benny tidak banyak canda tapi kami sering tertawa bersama. Benny tidak ganteng tapi membuatku greng. Meski terkadang obrolan kami tak berjuntrung tapi Benny membuatku seperti terkena 'serangan jantung'. Benny, di manakah engkau kini?

Tiba-tiba aku teringat Lulu sahabatku ketika di bangku kuliah. Lulu pernah mengatakan lebih baik ia tidak menikah jika calon suaminya tidak kaya raya. Cinta memang perlu tapi tidak harus selalu. Kita kan tidak bisa hidup hanya dengan cinta melulu. Kalau hanya berbekal cinta tanpa harta seumur-umur hanya akan tinggal di rumah mertua bagai benalu. Aku tidak mau, kata Lulu.Lulu akan pasang iklan di koran kalau perlu. Dicari: Kekasih yang kaya raya. Rumah megah. Mobil mewah. Uang banyak. Harta berlimpah. Tanpa cinta tak apa.

Bisa jadi Lulu benar. Bisa juga tidak. Uang banyak tanpa cinta buat apa? Harta berlimpah tanpa cinta hati nestapa. Rumah mewah tanpa cinta hati merana. Suami kaya tanpa cinta hidup bagai tak bernyawa. Cinta oh cinta.

Ibuku adalah pecinta sejati. Cintanya kepada bapak 24 karat. Tidak pernah luntur. Tidak pernah terbagi. Tidak pernah mati. Cinta sejati. Biarpun bapak meninggalkannya bertahun-tahun tanpa nafkah lahir batin. Biarpun bapak menikah lagi dengan gadis yang pantas jadi anaknya. Biarpun hatinya pedih perih bagai tak mau hidup lagi.

Cinta ibu sepanjang masa. Cinta ibu tak menuntut balas. Cinta ibu merawat bapak yang bertarung melawan maut. Cinta ibu mengiringibapak menggapai keabadian. Oh, ibu yang penuh cinta.

Mungkin cinta juga yang membuat ibu tak pernah menyuruhku segera menikah. Bahkan bertanya pun tak pernah. Ibu tak pernah risau melihatku tak punya pacar. Ibu tak pernah berusaha mencarikan jodoh untukku. Ibu percaya sepenuhnya padaku. Hidupku adalah milikku. Aku punya pacar atau tidak, mau menikah atau tidak, terserah padaku. Ibu mendukung sepenuhnya pilihanku.

Dulu ibu sering membuatku berpikir benarkah ibu tidak menguatirkan kesendirianku seperti layaknya ibu-ibu lain yang anak perempuannya terlambat atau tidak menikah. Beberapa tahun lalu pikiran-pikiran seperti itu sering menggangguku. Aku sering tidak bisa tidur bukan karena memikirkan jodohku tetapi karena memikirkan ibu. Bagaimanapun ibu pasti ingin melihatku menikah. Ibu pasti ingin menimang cucu dariku.

Tetapi cinta ibu menghapus kegelisahanku. Cinta ibu membuat tidurku tidak lagi bermasalah. Cinta ibu membuatku sadar bahwa kebahagianku adalah kebahagiaan ibu. Bila tidak menikah membuatku bahagia, mengapa tidak? Jika tidak menikah adalah pilihan hidupku, why not?

Cinta ibu mendatangkan suka cita. Cinta ibu membuat hidupku bahagia. Cinta ibu membuat batinku kaya raya. Dan, aku tidak perlu memasang iklan di koran. Dicari : Kekasih kaya raya….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun