Banyak kisah hidup dari orang-orang sukses yang menjadi inspirasi buat orang lain. Perjalanan dan perjuangan yang mereka lalui untuk mencapai kesuksesannya, bisa menjadi motivasi dan referensi untuk berjuang maju.Harus diakui, saya pun termasuk pengagum tokoh-tokoh sukses yang jatuh bangun membangun integritas dan mencapai impiannya.Di balik semua kesuksesan, ada jalan panjang yang harus ditempuh, ada banyak tanjakan dan kerikil tajam yang tak bisa dihindari, dan hanya manusia hebat yang akan bertahan dengan segala kondisi dan tantangan, dan terus maju menggapai tujuannya.
Kisah orang yang sudah sukses mungkin menarik untuk dibaca, namun kisah yang saya tulis bukan mengenai kesuksesan, karena saya masih baru melangkah. Saya hanya ingin menulis mengenai hari-hari yang saya lewati untuk mencapai impian saya. Bisa jadi suatu saat saya termasuk segelintir orang yang sukses dengan impiannya, bisa jadi saya gagal dan harus bangkit, bisa jadi kisah ini terus berlanjut namun bisa juga terputus. Keinginan hati menuntun saya untuk menuliskan perjalanan ini, sebagai catatan harian pribadi yang bisa dibagikan buat orang lain.
Saya baru mulai merintis usaha untuk mewujudkan impian saya di bidang kuliner, masih seumur jagung dan belum terlihat hasilnya. Sejak kecil saya selalu tertarik melihat brosur-brosur catering, dan berharap saya bisa memiliki bisnis di bidang makanan, tapi sejauh ini tidak pernah ada usaha ke arah itu, dan berhenti hanya sebatas mimpi.Sampai pada suatu titik, kehadiran seorang teman yang membawa saya pada keberanian untuk mengambil langkah “besar” dalam hidup saya. Seorang sahabat yang saya harap akan selalu menjadi bagian terindah dalam hidup saya.
Dilahirkan di lingkungan keluarga yang tidak memiliki latar belakang wira usaha, motivasi saya lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan serta karir yang bagus di perusahaan besar. Saya berhasil menyelesaikan kuliah dengan prestasi yang terbilang bagus, dan di usia yang ke-30 saya berhasil meraih gelar Magister Management. Karir pekerjaan pun terbilang cukup gemilang, dan tidak bisa dipandang sebelah mata, meskipun keinginan saya masuk di perusahaan multi nasional belum terwujud. Namun sejauh ini, saya sangat menikmati pekerjaan saya, menikmati hari-hari saya, menikmati kemapanan hidup dan rutinitas harian saya.
Hati saya sering tergelitik melihat kesuksesan para wira usaha, ada semacam kekaguman yang bercampur dengan kesombongan bahwa saya harusnya juga bisa. Di sisi lain saya tahu bahwa mejadi wira usaha bukanlah hal yang mudah, butuh ketangguhan untuk memulai usaha dari nol, butuh mental baja dan integritas yang kuat. Mungkin kesombongan bahwa saya harusnya bisa, hanyalah tabir untuk menutupi ketakutan saya meninggalkan kemapanan yang saya miliki. Dan keberanian untuk memulai langkah awal selalu terbentur dengan kenikmatan hidup yang sudah saya genggam. Keberanian itu tertutup dengan berbagai dalih bahwa saya memiliki tanggung jawab terhadap orang tua saya di hari tua mereka, dan tanggung jawab lainnya dalam keluarga besar.
Ada tiga nazar yang saya daulatkan ketika masih remaja, pertama meraih gelar S2 dengan biaya sendiri, kedua mengajak orang tua saya ke tanah leluhur (Tiongkok), dan ketiga adalah mengajak orang tua saya ziarah ke tanah suci. Awal tahun 2012, ketiga nazar tersebut sudah terpenuhi dengan sempurna, di situlah saya merasa sampai pada suatu titik jenuh dan tidak tahu kemana harus melangkah. Saya terlambat membuat nazar baru yang membuat tujuan hidup terasa tak berarah. Di saat yang sama, pekerjaan di kantor sudah tidak mampu mengangkat motivasi hidup, sedangkan keinginan untuk wirausaha di bidang kuliner mulai tumbuh lagi dan menggelitik keinginan untuk meraih impian masa kecil dengan memberanikan diri keluar dari kemapanan berbekal pengalaman yang bisa dibilang “nol”.
Saya selalu menganggap diri saya sebagai pribadi yang mandiri dan tangguh, namun pada kenyataannya tidak demikian. Keberanian saya mengambil langkah baru muncul setelah saya bertemu dengan seseorang yang memiliki visi yang sama, seseorang yang berawal dari sebuah perkenalan sederhana akhirnya menjadi teman. Saya akan memanggilnya teman bukan “partner” atau “rekanan”, karena teman berbagi dalam semua hal, dalam suka dan duka, dalam kekecewaan dan kegembiraan. Tentunya rencana bekerja sama ini menjadi pertanyaan dari pihak keluarga maupun teman-teman kami yang lain, karena kami baru saling mengenal tiga bulan, dan sudah sepakat untuk berjalan bersama. Tantangan lain yang mungkin harus dihadapi karena dia laki-laki dan saya perempuan, batasan norma dan persahabatan beda gender masih berpotensi menjadi bahan gosip. Tapi kami yakin, selama niat kami baik, dan selama kami tulus, persahabatan kami akan menjadi tiang kekuatan kami untuk bertahan bersama membangun impian kami.
Saya mencatat setiap hari berhargayang saya lalui dalam mengejar impian ini. Tanggal 18 Maret saya pertama berkenalan dengan Yudi, perkenalan yang sangat singkat. Kemudian berlanjut dengan kontak lewat Blackberry, dan kemudian kami menjadi teman. Pembicaraan pun banyak seputar bisnis kuliner, resep masakan dan semua hal yang berbau dapur. Kemudian kami mulai memasak bersama, dan menjual hasil masakan kami ke teman dan relasi. Tanggal 1 Juni kami mendapatkan order yang lumayan besar, dan membuat kami berdua harus begadang beberapa hari untuk dapat memenuhi order tersebut, semuanya hanya kami kerjakan berdua. Waktu itu saya masih berstatus karyawan, dan Yudi masih aktif dengan kegiatan show dia. Kami sudah sepakat saat itu, apabila order tersebut berhasil maka saatnya kami mulai mempersiapkan langkah untuk bisnis yang lebih serius. Dan ternyata....... meskipun tidak sempurna, namun order tersebut dapat terselesaikan dan cukup mendapatkan tanggapan positif.
Itulah awal persahabatan kami, dan awal kami membangun mimpi kami di bidang kuliner
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H