[caption id="attachment_155890" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Bekerja atau hidup di negeri orang, tidak pernah menjadi impian saya, meskipun banyak cerita sukses yang saya dengar. Â Bahkan saya pernah mengalami masa ketika bekerja ke Amerika Serikat menjadi trend dengan iming-iming mengeruk ribuan Dollar dan kesejahteraan hidup. Banyak sekali keluarga dan relasi yang berbondong-bondong mencari kesempatan ke sana, bahkan dengan cara illegal, tetapi saya tetap tidak tergiur untuk ikut merasakan kucuran US Dollar ke rekening bank saya. Saya mencintai hidup saya di Indonesia, dan bagi saya berkumpul dengan keluarga dan teman-teman adalah suatu kehidupan indah yang tak ingin saya lepaskan. Keberhasilan saya menyelesaikan studi S-2 di bidang management, sekaligus menjadi kegagalan saya memilih sebuah langkah. Setelah memperoleh gelar Magister Manajemen, muncul kesombongan dalam diri saya bahwa saya harus bisa lebih berhasil dibandingkan anggota keluarga yang lain. Bermula dari kehadiran saya di suatu seminar mengenai seluk beluk bekerja di luar negeri, yang tidak lain adalah promosi agensi untuk pengurusan dokumen. Awalnya saya bermaksud mencoba Australia, namun dengan arahan seorang "konsultan" saya disarankan ke Singapura, karena secara kualifikasi lebih sesuai. Mereka menjelaskan jenis pekerjaan yang bisa saya dapatkan, perkiraan gaji sebulan serta biaya hidup yang harus dikeluarkan, benar-benar hitungan yang menggiurkan untuk orang yang belum pernah ke luar negeri seperti saya. Dan akhirnya saya mengisi formulir untuk pendaftaran Permanence Residence (PR), dengan biaya yang tentunya tidak murah. Memang dijelaskan di awal, bahwa PR tersebut sifatnya adalah sementara dan hanya berlaku 1 (satu) tahun. Setelah saya mendapatkan pekerjaan tetap di Singapura, maka Permanence Residence yang resmi baru akan diterbitkan. Namun mereka menjamin, bahwa dengan kualifikasi yang saya miliki, akan mudah bagi saya untuk mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan. Apakah benar karena kualifikasi saya sudah mencukupi, yang jelas akhirnya PR menjadi milik saya. Dan dengan tekad yang tinggi untuk meningkatkan harkat hidup, saya berangkat ke Singapura. Negara asing pertama yang saya kunjungi, di benak saya waktu itu....... "small step for a giant leap". Saya akan berhasil di negara ini, itu tekad saya. Ternyata impian, tidak seindah kenyataan. Mungkin juga saya yang tidak cukup kuat untuk bertahan. Sambil menunggu mendapatkan pekerjaan tetap di Singapura, saya membantu seorang Ibu asal Indonesia yang sudah cukup lama tinggal di Singapura. Saya membantu mengantar tamu berobat ke Rumah Sakit, membantu komunikasi dengan Dokter ataupun mengambilkan hasil Laboratorium, serta menjaga apartemen beliau yang disewakan ke tamu. Suatu pekerjaan yang tentunya tidak sesuai untuk seorang Magister Manajemen. Saya menekan harga diri dan kesombongan saya, karena saya memerlukan tempat tinggal sambil mencari pekerjaan yang sesuai. Setulus hati saya berterima kasih kepada Ibu tersebut karena bersedia menampung saya di rumah beliau, namun bukan itu tujuan yang saya harapkan dengan bekerja di negeri orang. Namun karena sering meninggalkan pekerjaan untuk urusan interview, saya akhirnya memilih menyewa apartemen sendiri meskipun berarti pengeluaran biaya yang tidak sedikit. Cukup banyak lamaran pekerjaan yang saya kirimkan, awalnya saya memilih perusahaan-perusahaan yang cukup bonafide dengan standard gaji yang sesuai arahan dari "konsultan" saya. Namun setelah sekian lama menunggu, hanya ada satu panggilan untuk interview. Setelah menjelaskan mengenai lingkup pekerjaannya, mereka menawarkan saya gaji setengah dari yang saya minta, karena dianggap ijazah S-2 saya adalah keluaran Indonesia yang tidak diakui di Singapura. Ya Tuhan, saya merasa dilecehkan, saya adalah lulusan universitas yang punya nama di Surabaya, dan nilainya pun terbilang memuaskan, namun di Singapura ijazah itu tidak ada harganya. Meskipun akhirnya saya menyetujui gaji yang diberikan, namun kemudian tidak ada kabar lagi dari mereka. Karena tidak juga mendapatkan pekerjaan setelah dua bulan berada di Singapura, sementara biaya hidup terus berjalan, maka saya pun menurunkan standard, yang penting saya bisa bertahan dulu. Dan ketika saya menurunkan standard, memang ada beberapa perusahaan yang memanggil saya untuk interview. Namun yang cukup menyedihkan adalah setiap kali interview, seolah sudah melekat image ke warga Negara Indonesia, bahwa mereka hanya memanfaatkan perusahaan kecil untuk mendapatkan PR, setelah memiliki referensi kerja, mereka akan pindah ke perusahaan yang lebih bonafide. Ah, kondisi lain lagi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Mau dijelaskan bagaimana pun, kenyataannya memang dan pasti demikian. Akhirnya ada satu perusahaan yang mau memperkerjakan saya, seorang warga Negara Indonesia yang sudah terlanjur memiliki PR dan berusaha bertahan di negara tetangga. Saya membayangkan masuk di sebuah perusahaan yang terkoordinir dengan standard internasional, namun berakhir menjadi tenaga sales yang menawarkan barang dari pintu ke pintu. Saya mencoba menjalani pekerjaan ini dengan harapan setelah meresmikan status PR, maka saya bisa mencari pekerjaan yang saya impikan, dan yang terpenting saya tidak ingin kembali ke tanah air sebagai orang gagal. Namun jalan hidup mengarahkan kita kepada kebaikan, meskipun itu tidak kita sadari. Dalam pergulatan saya untuk terus bertahan di Singapura, ayah saya meratap dengan duka citanya, bahwa puteri kesayangan beliau yang harusnya menjadi kebanggaannya, berjuang di negeri orang dan terhempas di bawah. Kakak saya sudah beberapa kali menelepon meminta saya kembali ke Indonesia, namun saya tidak bergeming. Karena tidak bisa menahan kesedihannya, ayah saya dengan suara menghiba namun tegas meminta saya pulang kalau saya tidak ingin beliau tersiksa. Antara kesombongan dan orang tua, membawa saya kepada pilihan yang tidak mudah. Betapa malunya harus kembali ke tanah air sebagai orang yang kalah, namun saya juga tidak tega membiarkan kedua orang tua saya dalam tekanan batin mengkuatirkan nasib saya. Di Jakarta sekarang saya berdiri, delapan tahun yang lalu saya berusaha bangkit lagi dan menata diri. Saya tidak pernah menyesali puluhan juta yang harus saya keluarkan untuk merasakan manis getirnya hidup di negara orang. Saya tidak menyesali bulan-bulan yang saya lalui dalam kesendirian dan tekanan batin yang hebat sebagai orang kalah. Suatu proses pembelajaran yang harus saya lalui untuk mematangkan hidup, melihat cinta keluarga saya yang luar biasa, mensyukuri setiap kesempatan yang datang dalam hidup saya. Justru kegagalan ini menjadi awal bagi saya untuk menjadi pribadi baru yang lebih dewasa dalam mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan yang saya ambil dalam hidup, saya menyebutnya "Life University". Saya mungkin gagal untuk mengejar impian saya di Singapura, namun banyak juga yang berhasil dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Â Jangan takut untuk melangkah ataupun menentukan pilihan, dan kalaupun pilihan itu salah, ada waktunya kita akan bangkit lagi dan belajar dari kesalahan itu. Hanya satu pesan yang mungkin bisa saya bagikan, pelajari dengan benar negara yang hendak kita jadikan tujuan, dan apa yang kita harapkan di sana. Apabila masih banyak hal yang tidak jelas, kumpulkan sebanyak mungkin informasi dan jangan gegabah mengambil keputusan. Ini khususnya untuk mereka yang berangkat ke luar negeri sebelum mendapatkan kontrak pekerjaan. Yang jelas dimana pun kita berada, tetaplah bersyukur dan teruslah berjuang untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga dan sesama. Tuhan memberkati..........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H