Mohon tunggu...
yon apiek
yon apiek Mohon Tunggu... wiraswasta -

perjuangan takkan pernah usai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

ki ronggo warsito

17 Agustus 2012   19:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Duh Ki Ronggo, zaman memang telah edan!

Memaknai Serat Kolotidho

amenangi jaman édan,

éwuhaya ing pambudi,

mélu ngédan nora tahan,

yén tan mélu anglakoni,

boya keduman mélik,

kaliren wekasanipun.

Ndilalah kersaning Gusti,

begja-begjaning kang lali,

luwih begja kang éling lan waspada.

Syair tersebut di atas adalah petikan dari Serat Kolotidho yang bermakna

sebagai berikut:

menyaksikan zaman penuh kegilaan,

sungguh serba susah dalam bertindak,

ikut gila sungguh tak tahan,

tapi kalau tak ikut (gila) takkan dapat bagian,

kelaparan pada akhirnya.

namun sudah menjadi kehendak Tuhan,

sebahagia-bahagianya orang yang lupa daratan,

akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Makna yang tersirat dari syair tersebut adalah pada suatu saat akan datang

zaman yang penuh dengan kekacauan. Kebenaran dan kejahatan sudah tidak jelas bedanya. Tipis, tipis, tipis sekali batasnya. Pada zaman itu orang yang tidak ikut berbuat jahat tak akan kebagian rezeki, atau takkan bisa kaya raya. Sebaik-baiknya orang yang berbuat jahat, masih lebih baik orang yang tetap menjalankan adat-istiadat dan selalu ingat terhadap aturan hukum.

Almarhum Raden Ngabehi Ronggo Warsito - sebut saja Ki Ronggo - menuliskan Serat Kolotidho dalam bentuk wejangan bermakna mendalam dan tetap layak jadi pegangan hidup di masa kini. Betapa dalam hidup ini kita musti memilih: menjadi orang jujur dan baik budi tapi tak berpunya, atau hidup bahagia dan kaya raya dengan tumpukan harta benda tetapi limpahan kekayaan itu ternyata dari hasil memeras, menipu, manipulasi, konspirasi, merampok, korupsi, kolusi, dan tindakan jahat lainnya.

204 tahun Raden Ngabehi Ronggo Warsito

Ki Ronggo, tepat pada 14 Maret mendatang, usiamu bakal menginjak yang

ke-204 tahun. Nderek Mangayubagyo, Sugeng Tanggap Warso! Ki Ronggo

yang bernama kecil Bagus Burham lahir di Surakarta pada 14 Maret 1802,

putra dari RM. Ng. Pandjangsworo bertrah Yosodipuro yang dikenal

sebagai penyair kraton Kasunanan.

Pertanyaannya: Akankah ada yang merayakan, minimal berziarah ke makammu di Surakarta sekaligus membacakan karya-karyamu? Sayang Ki, engkau kini telah tiada, meninggalkan kita semua. Tetapi karya-karyamu tetap hidup. Kemampuanmu dalam menulis sungguh luar biasa, tak heran

kalau panjenengan ditabalkan sebagai pujangga besar pada zamannya.

Kini sungguh jarang manusia yang memiliki 'daya linuwih' untuk bisa

membaca masa depan seperti yang panjenengan miliki. Sorot matamu

sungguh tajam menerawang ke alam maha luas. Olah otakmu mengulik-ulik

lampaui batas zaman.

Selain Serat Kolotidho, karya-karya Ki Ronggo yang lain adalah

Cariyos Ringgit Purwa, Bausastra Kawi (Kamus Kawi-Jawa) yang disusun

bersama C.F. Winter Sr., Sajarah Pandhawa lan Korawa: Miturut

Mahabharata, Sapta Dharma, Serat Aji Pamasa, Serat Candrarini, Serat

Cemporet, Serat Jaka Lodang, Serat Jayengbaya, Serat Panitisastra,

Serat Pandji Jayeng Tilam, Serat Paramasastra, Serat Paramayoga,

Serat Pawarsakan, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa,Serat Wedaraga,

Serat Witaradya, Sri Kresna Barata, Wirid Hidayat Jati, dan Wirid

Ma'lumat Jati.

Kuat dugaan bahwa penulis Serat Darmo Gandhul yang berjuluk Ki Kalam Wadi adalah juga Ki Ronggo. Agaknya, sesekali ia pun perlu menyamarkan nama demi keselamatan nyawanya. Serat itu bertutur tentang masa peralihan kekuasaan dari Kraton Majapahit ke tangan Kraton Demak Bintara yang menimbulkan ekses sosial, politik, dan keagamaan yang saling berbenturan. Prabu Brawijaya beserta bala tentaranya harus menelan pil pahit atas kehancuran kerajaannya. Sementara Adipati Demak Bintara mendapat angin segar untuk menggantikan dominasi Majapahit yang telah berlangsung lebih dari tiga abad lamanya.

"Sirna ilang kertaning bumi", habis sudah kejayaan dan kebesaran kerajaan yang dibangun Raden Wijaya. Suluk Darmo Gandhul merekam peristiwa historis yang tragis tersebut. Nasib Prabu Brawijaya yang malang, 'katula-tula katali', mendapat pembelaan Ki Kalam Wadi yang menjadi guru sejarah dan spiritual tokoh Darmo Gandhul. Keangkuhan dan kesewenang-wenangan para laskar dan prajurit dari Demak Bintara yang mencerai-beraikan Kraton Majapahit mendapat kecaman yang sangat pedas. Dengan nada emosional, Ki Kalam Wadi tidak membenarkan tindakan yang anarkis dan membabi buta.

Zaman edan

Andai Ki Ronggo hidup di zaman kini, ia sungguh pantas mengelus dada.

Kepalanya pasti pening menyaksikan tabiat manusia yang mengaku bergaya

hidup modern tapi masih berperilaku kanibal, brutal, sangar, berangasan

seperti di zaman jahiliyah. Hanya karena beda paham politik, beda suku,

dan beda keyakinan, nyawa bisa melayang. Sebenarnya, berhala bukanlah

pahatan patung-patung, tetapi dalam bentuk pemujaan pada harta benda. Yah, karung-kemarung uang, gemerincing emas berlian dan kilauan mutu manikam. Coba lihat Ki Ronggo, pandang lurus ke depan tak perlu tengok kanan kiri, sungguh begitu banyaknya para birokrat menilep uang secara berjamaah. Yang sungguh menyesakkan dada, mereka mengaku umat beragama dan mengimani Tuhan tapi melakukan perbuatan buruk itu dengan penuh kekhusukan sebagaimana layaknya orang bersembahyang. Tatanan hukum dan peraturan bisa dibelokkan untuk kepentingan sekelompok orang dan golongan. Sementara sebagian besarrakyat yang hidup sengsara dan penuh derita, mereka abaikan. Padahal sudah menjadi tugas para pelayan masyarakat untuk terus berpikir dan bertindak dengan langkah nyata bagaimana memakmurkan rakyatnya, bukan malah menggencet dan

membual-bual dengan janji-janji kosong.

Pikiran mereka telah hanyut, larung dan bahkan tenggelam untuk hanya memikirkan bagaimana menjadi kaya raya, bagaimana bisa menyekolahkan anak-anaknya di mancanegara, bagaimana agar bisa naik haji sesering mungkin, bagaimana bisa punya 'peliharaan' sebanyak-banyaknya, dengan mengesampingkan asah akal budi dan asah asih asuh demi kebaikan buat sesama. Memang, masih ada segelintir orang berjiwa idealis, hidup lurus, 'ngangsu kawruh' (tekun belajar), beri 'piwulang', tetapi mereka tergencet hidupnya karena punya pandangan berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Mereka menjadi sosok-sosok yang terbelenggu dan tak punya daya apa-apa....

Suka··Berhenti Mengikuti Kiriman·Bagikan·Hapus


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun