Di desa kecil yang tenang, di tengah gemerisik daun jati yang menari diterpa angin, hidup seorang ayah yang penuh kasih dan seorang anak perempuan yang lincah. Namun, tak ada yang menyangka bahwa di rumah sederhana mereka, sebuah tragedi kelam tengah disusun oleh seseorang yang seharusnya menjadi bagian dari keluarga.
Pagi itu, Dukuh Wangil di Desa Sambonganyar, Blora, tak lagi sama. Warga berkumpul, berbisik cemas. Muslikin (45), seorang pria pekerja keras, dan putrinya yang masih belia, SKP (9), ditemukan tak bernyawa. Tubuh mereka kaku, dingin, tanpa tanda-tanda kekerasan. Mata mereka tertutup rapat, seakan tertidur, tapi nyawa telah lama pergi.
"Pak Muslikin orang baik," bisik seorang tetangga, suaranya bergetar. "Anaknya juga manis sekali... kok bisa begini?"
Ketakutan mulai menjalar. Apakah ini penyakit? Atau sesuatu yang lebih jahat sedang mengintai?
Penyelidikan segera dilakukan. Tak ada luka, tak ada perlawanan. Namun, ada sesuatu yang ganjil pada air minum di rumah itu. Tim forensik bergerak cepat, menemukan jejak racun dalam galon isi ulang.
Pelakunya? M. Khundori (35), saudara ipar korban. Seorang pria yang selama ini kerap bersenda gurau di rumah Muslikin, berbagi makanan, berbincang dalam lingkaran keluarga. Namun di balik senyum ramahnya, ia menyimpan dendam yang mencekik akal sehatnya.
Di Bandara Samarinda, jauh dari Blora, ia ditangkap. Tak ada lagi tempat untuk bersembunyi.
Saat rekonstruksi digelar, pemandangan itu begitu menyayat hati. Di hadapan banyak orang, Khundori dengan datar memperagakan 63 adegan, memperlihatkan bagaimana ia merencanakan kematian saudara iparnya dan keponakannya.
Tangan itu---tangan yang seharusnya digunakan untuk melindungi---justru menggiling apotas dan racun tikus hingga halus, mencampurnya ke dalam air minum yang kelak akan diminum oleh Muslikin dan anaknya.
Seusai menuangkan racun ke dalam galon, ia pergi. Meninggalkan rumah dengan hati yang telah membatu. Tak ada keraguan, tak ada rasa sesal. Ia tahu, dalam beberapa jam, kejahatannya akan mulai bekerja.