"Bimbang di Antara Dua Hati"
Tahun-tahun berlalu sejak kepergian Armand, dan Laila telah menemukan kedamaian dalam rutinitas barunya. Taman baca "Rembulan" yang ia bangun berkembang pesat, menjadi tempat bagi anak-anak desa untuk belajar dan bermimpi. Namun, ia tetap menjalani hidup dengan hati yang tertutup. Cinta untuk Armand masih terasa kuat, seperti api kecil yang tak pernah padam di sudut hatinya.
Namun, semuanya berubah ketika seorang pria bernama Fajar datang ke desa. Fajar adalah seorang arsitek muda yang ditugaskan untuk membangun perpustakaan desa. Sosoknya ramah, cerdas, dan penuh semangat. Ia sering mampir ke taman baca Laila, memuji kerja kerasnya, dan perlahan menjadi bagian dari keseharian Laila.
Awalnya, Laila menganggap kehadiran Fajar sebagai sesuatu yang biasa. Namun, perhatian Fajar yang tulus mulai membuka pintu kecil di hatinya yang selama ini ia tutup rapat. Fajar sering membawakan buku baru untuk taman baca, membantu Laila merawat bunga-bunga di halaman, dan bahkan tak ragu mendengarkan cerita-cerita Laila tentang Armand.
"Aku kagum pada cintamu untuk Armand," ucap Fajar suatu sore, ketika mereka duduk di beranda sambil meminum teh hangat. "Tapi aku ingin kau tahu, Laila, aku di sini. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, jika kau mengizinkan."
Kata-kata itu membuat Laila terdiam. Hatinya bergetar antara rasa bersalah dan keinginan untuk membuka lembaran baru. Ia tahu Armand ingin ia melanjutkan hidup, tapi apakah mencintai orang lain berarti mengkhianati cinta yang dulu ia miliki?
Malam-malam Laila kembali diisi dengan kebimbangan. Ia menatap rembulan dari balik jendela, seolah meminta petunjuk. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan, meninggalkannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Konflik di hati Laila semakin besar ketika ia menemukan sebuah surat lama yang disembunyikan di antara buku harian Armand. Dalam surat itu, Armand menulis:
"Jika suatu hari kau menemukan cinta baru, jangan pernah ragu untuk menerimanya. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kesendirian. Aku akan selalu mencintaimu, tapi aku ingin kau bahagia, bahkan jika itu berarti kau harus mencintai orang lain."
Membaca surat itu, air mata Laila tumpah. Surat itu seperti restu dari Armand, membebaskannya dari rasa bersalah yang selama ini menghantui. Namun, hatinya tetap tak mudah menerima perubahan. Ia takut melangkah, takut kehilangan bagian dari dirinya yang masih terikat pada kenangan Armand.
Suatu hari, Laila memutuskan untuk berbicara jujur pada Fajar. Mereka duduk di bawah pohon mangga di taman baca, tempat yang kini menjadi ruang penuh kenangan dan harapan.
"Fajar," kata Laila dengan suara pelan namun tegas. "Aku butuh waktu. Hatiku pernah terluka, dan meski aku tahu aku harus melangkah, itu tidak mudah bagiku."