Sementara itu, hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Independen Nusantara (LSIN) menunjukkan bahwa politik transaksional telah berkembang menjadi hal yang wajar dan umum dimata publik.Â
Pembelian suara bahkan dijadikan sebagai faktor utama pertimbangan pemberian suara kepada salah satu kandidat.Ini artinya politik transaksional adalah langkah paling efektif dalam mempengaruhi putusan pemilih pada Pilkada serentak.
Hal ini menegaskan bahwa pertimbangan pemilih dalam memutuskan pilihan terhadap kandidat karena adanya pemberian uang dan barang yang diberikan oleh kandidat.Â
Dengan demkian, pemberian imbalan dinilai lebih penting dibandingkan dengan visi-misi atau program kandidat. Selain itu, kesamaan etnis dengan kandidat, kehendak untuk berpatisipasi dalam pesta demokrasi, menjadi terabaikan oleh dasyatnya politik transaksional.Â
Fenomena ini menunjukkan bahwa praktik politik transaksional yang selama ini terjadi pada Pilkada, Pileg dan Pilpres pada tahun-tahun sebelumnya telah memberikan pendidikan politik yang buruk terhadap publik dan berdampak pada membudayanya praktik jual beli suara.
Bahaya politik transaksional ini jika ditilik dari sisi subtansi demokrasi, tidak menjanjikan melembaganya demokrasi subtansial yang terkonsolidasi. Dan karena itu juga maka, tidak melembagakan pemerintahan yang efektif dan sinergis serta pemerintah yang bersih dari korupsi dan perangkap penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan, format pilkada tidak menjanjikan kepala daerah yang kapabel sekaligus akuntabel.Â
Selain itu orientasi dan arah kompetisi masih berputar di sekitar upaya meraih popularitas dan elektabilitas. Hampir tidak ada kesempatan bagi publik memilih kandidat berdasarkan kapabilitas para calon.
Secara lebih kongkrit, bahaya politik transaksional dalam pilkada yakni, Pertama, memunculkan pejabat yang tidak berintegritas. Banyak pejabat yang sejatinya tidak layak menduduki jabatan, tetapi terpilih karena didorong politik transaksional. Hasilnya, seperti terlihat kinerja yang buruk yang hasilkan oleh politik transaksional ini. Tentu ini menjadi ironi karena tidak mampu menaikkan tingkat kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.
Kedua, implementasi kebijakan penguasa ini banyak tidak berpihak kepada rakyat. Â Kepala daerah model ini teramat doyan mengambil kebijakan-kebijakan berdasar transaksi-transaksi politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik, maupun pihak-pihak lain. Politik transaksional dapat menciptakan pemimpin transaksional.
Ketiga, politik transaksional juga akan memunculkan maraknya korupsi. Lemahnya penegakan hukum akibat politik transaksional tersebut menjadikan korupsi kian tak terkendali.Â
Hari demi hari, masyarakat selalu disuguhi pemberitaan korupsi para pejabat. Sistem hukumnya sendiri masih lemah dari awal sehingga makin sulit mengatasi persoalan hukum yang muncul. Ketika kekuasaan memerlukan finansial besar untuk membiayai transaksi-transaksi politik, implikasinya mereka akan terus berusaha untuk mencari cara mengembalikan modal.