Ketika gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa pada 1998 lalu berhasil menggulingkan rezim Soeharto, bandul politik Indonesia begeser secara drastis. Tiga kekuatan partai politik, yakni Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)  yang sejak pemilihan umum (pemilu) tahun 1971 sebagai saluran memproduksi  kepemimpinan negara dan daerah serta elit politik, dirasa belum mengakomodir kepentingan semua pihak dalam berdemokrasi. Maka pada pemilu tahun 1999 adalah titik start  perubahan dari tiga partai menjadi pemilu multi partai dimulai.Â
Seiring waktu berjalan, format pemilu, (Pilpres dan Pilkada) mengalami perubahan dari pemilihan melalui perwakilan di MPR/DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, berubah menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat. Rakyat secara langsung menentukan siapa yang layak menjadi wakilnya/pemimpinnya pada jabatan eksekutif.Â
Sementara lembaga legislative dari pemilihan berdasarkan partai menjadi pelimihan berdasarkan partai dan calon legislative, dengan berbagai perubahan dari waktu ke waktu. Pemilihan Kepala Daerah serentak tahap satu yang berlangsung 9 Desember 2015 lalu dan tahap dua pada bulan pebruari 2017 mendatang, adalah perubahan mutakhir dari format pemilu kita.Â
 Perubahan dinamika politik sepanjang kurun waktu satu dekade lebih ini, menurut banyak kalangan menunjukan tanda-tanda semakin demokratis.  Karena rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi diberi ruang demokrasi  yang seluas-luasnya untuk memilih pemimpinya dalam hajatan lima tahunan melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada). Namun apakah perkembangan demokrasi ini secara subtansial sudah memenuhi harapan  kita atau tidak, masih penuh dengan tanda tanya.Â
Pertanyaan ini mengemuka manakala, realitas politik pilkada kita hari ini menujukan tanda-tanda yang berbahaya bagi kualitas demokrasi kita. Salah satu tanda bahaya yang tampak dalam realitas politik kita hari ini adalah politik transaksional. Politik transaksional berarti politik dagang. Pada praktik politik, jika terjadi politik transaksional, ada yang memberi uang, barang dan janji  dan ada yang menerima uang, barang dan janji dalam transaksi politik tersebut.
Tulisan kecil ini hendak menyoroti  bahaya politik transaksional pilkada, sekaligus sebagai pesan moral buat perhelatan pesta demokrasi pilkada pada bulan pebruari 2017 mendatang yang berlangsung di tiga kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata dan Kota Kupang.Â
Hal ini menjadi urgen manakala kondisi ini jika dibiarkan terus berlanjut, maka akan melahirkan pemimpin-pemimpin daerah  dengan  karakter dan kualitas yang memprihatinkan. Sebab proses menjadi pemimpin diperoleh dengan cara-cara yang transaksional. Â
Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Muchammad Yuliyanto mengatakan, nuansa politik transaksional yang melibatkan masyarakat dan partai politik (Parpol) masih sangat kuat.Â
Politik transaksional menurut Yuliyanto, tidak hanya dilakukan secara masif oleh masyarakat yang memiliki hak pilih saja, tetapi juga dilakukan oleh Parpol yang terlibat dalam Pilkada serentak tersebut.Â
Jika kondisi tersebut dibiarkan tanpa adanya upaya untuk menghentikannya, akan sangat berbahaya. Karena bisa dipastikan akan berlanjut kepada sistem pemerintahan yang cenderung korup.Â
Kepala daerah yang terpilih karena melalui proses transaksional, akan memanfaatkan jabatannya untuk mengembalikan hutang materi yang telah mereka keluarkan untuk Pilkada.