Mohon tunggu...
heru suti
heru suti Mohon Tunggu... Administrasi - Merdeka

Menulis untuk menghasilkan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

TV Analog: Kenangan dan Selamat Tinggal

4 November 2022   05:58 Diperbarui: 4 November 2022   11:16 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi T Analog (pxel66/Thinkstock via cnnindonesia.com)

Saya adalah generasi yang tumbuh dengan televisi sebagai sarana hiburan utama di rumah. Waktu saya kecil dulu, tv rusak adalah hal yang sangat menyedihkan. Berhari-hari rasa nelangsa itu ada saat menunggu tv direparasi.

Dan tentu, tv kami adalah tv analog yang kemarin baru saja diakhiri masa hidupnya. Di Jabodetabek dan beberapa kota lainnya. Di twitter ramai sekali orang mengunggah hitungan mundur akhir hayat tv analog untuk kemudian tertawa melihat gambar semut menggantikan gambar televisi. Gak ada sedih-sedihnya sama sekali, dasar anak jaman sekarang.

Di kampung dulu, tidak semua orang punya tv. Keluarga kami termasuk dari sedikit orang yang punya tv. Itu adalah TV analog hitam putih yang menyalakannya menggunakan energi dari aki yang rutin di-charge, pada suatu masa di pertengahan 80-an.

Waktu itu kalau malam minggu banyak tetangga yang datang ke rumah kami. Mereka membawa tikar dan kadang bawa makanan kecil, macam orang mau nonton layar tancap, mereka menghabiskan malam minggu di rumah kami.

Senang rasanya, rumah jadi ramai. Satu-satunya stasiun tv yang kami tonton adalah TVRI. Kalau acara tv sedang tidak menarik, macam berita atau Laporan Khusus kunjungan Presiden, saya bermain dengan anak-anak mereka.

Kalau ada pertandingan badminton, atau timnas sepakbola yang main, rumah kami lebih ramai lagi. Kalau malam minggu biasa yang datang biasanya emak-emak dan anak-anaknya, kalau ada pertandingan bola, bapak-bapak juga ikutan. Seru...

Waktu itu tidak setiap saat ada siaran tv. Kalau pagi hari, hanya di hari Minggu saja siaran tv ada. Setiap hari ya, baru di sore hari kami bisa menyaksikan siaran tv, sehabis keributan rutin ibu saya menyuruh saya mandi sore...

Lalu ada tv berwarna, masih analog juga tentunya. Ada tetangga kami yang lebih kaya yang membeli tv berwarna. Kalau hari minggu saya main ke tempat tetangga lebih kaya tadi, sekedar untuk menonton tv yang ada warnanya.

Ah ya, tv warna pada masanya adalah juga barang mewah. Tante Janis Joplin pun pernah merengek-rengek dalam lagunya minta dibelikan tv warna, jauh sebelum saya lahir.

"Oh Lord, won't you buy me a color TV? Dialing For Dollars is trying to find me, I wait for delivery each day until three. So, oh, Lord, won't you buy me a color TV?" Begitu tante Janis bernyanyi dalam lagunya yang ia beri judul Mercedez Benz. Ya selain berhayal minta tv warna, ia juga berhayal dibelikan mobil Mercedez Benz.

Ilustrasi T Analog (pxel66/Thinkstock via cnnindonesia.com)
Ilustrasi T Analog (pxel66/Thinkstock via cnnindonesia.com)

Lalu datanglah stasiun tv swasta, kami pun akhirnya lalu membeli tv berwarna, sudah bukan lagi barang mewah. 

Saya sudah agak besar waktu itu, molai remaja. Saluran tv swasta kami tangkap dengan memasang antena tinggi dilengkapi dengan booster.

Setiap menonton kami kadang harus memutar-mutar antena untuk mendapatkan gambar terbaik. 

"Sudah belum..?" begitu biasanya saya berteriak ketika memutar antena meminta respon orang di dalam rumah untuk menginformasikan kondisi gambar tv saat antena saya gerakkan.

TVRI tidak lagi menjadi satu-satunya stasiun televisi. Tayangan pun makin bervariatif. Dan ah, ada pula film Baywatch diputar saat sore hari, yang membuat saya malu-malu dan mencuri-curi saat yang pas untuk menontonnya...

Hebat sekali, ada Liga Italia dan Liga Inggris yang bisa kami tonton gratis tiap minggunya. Era menonton sepakbola gratis ini berjalan cukup lama, sampai saya beranjak dewasa, sampai kemudian saat ini saya hidup di era semuanya serba berbayar dan nonton bersama pun harus minta ijin belaka, hihi...

Ya, sampai kemudian saya hidup di era internet dimana sekarang televisi hanya dijadikan sebagai latarbelakang untuk anak-anak saya bermain.

Lha iya, sekarang anak-anak saya itu senangnya menyalakan tv trus ditinggal beraktivitas lainnya, entah main, entah belajar, entah nonton yutub di hape. Untuk brisik-brisik katanya, gak boleh itu tv dimatikan.

Dan ya, tv analog memang sudah tidak jamannya lagi. Dari sisi tampilan saja, mata kita sudah biasa melihat gambar dengan resolusi tinggi, high definition yang membuat noda kecil di kulit mulus artis layar kaca jadi terlihat jelas.

Ya, jaman memang terus berjalan, sebuah era pasti akan berakhir, akan berganti dengan era selanjutnya. Yang patah tumbuh yang hilang berganti kalau kata band Banda Neira mah...

Ya, selamat tinggal tv analog, terima kasih atas semua yang pernah kau berikan semuanya. Eramu sudah berakhir memang. Tapi ya, siapa tahu nanti ada lagi orang yang merindukanmu. Ya sama lah dengan kamera analog, yang lalu digusur oleh kamera digital, bahkan kemudian juga oleh handphone yang makin canggih fitur kameranya. 

Namun, hari berlalu dan banyak orang juga yang ternyata bisa merindukan kamera analog dengan segala keribetannya memasang film dan sebagainya. Ada banyak penggemar kamera analog sekarang.

Tapi ya tv dan kamera ya jelas beda, saya ndak tahu secara teknis atas dasat apa nanti orang akan merindukan tv analog.

Ya sudahlah, tengkyu so much lah pokoknya buat tv analog. Nonton bola full gratis adalah salah satu yang paling kurindukan darimu... Eaa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun