Lalu datanglah stasiun tv swasta, kami pun akhirnya lalu membeli tv berwarna, sudah bukan lagi barang mewah.Â
Saya sudah agak besar waktu itu, molai remaja. Saluran tv swasta kami tangkap dengan memasang antena tinggi dilengkapi dengan booster.
Setiap menonton kami kadang harus memutar-mutar antena untuk mendapatkan gambar terbaik.Â
"Sudah belum..?" begitu biasanya saya berteriak ketika memutar antena meminta respon orang di dalam rumah untuk menginformasikan kondisi gambar tv saat antena saya gerakkan.
TVRI tidak lagi menjadi satu-satunya stasiun televisi. Tayangan pun makin bervariatif. Dan ah, ada pula film Baywatch diputar saat sore hari, yang membuat saya malu-malu dan mencuri-curi saat yang pas untuk menontonnya...
Hebat sekali, ada Liga Italia dan Liga Inggris yang bisa kami tonton gratis tiap minggunya. Era menonton sepakbola gratis ini berjalan cukup lama, sampai saya beranjak dewasa, sampai kemudian saat ini saya hidup di era semuanya serba berbayar dan nonton bersama pun harus minta ijin belaka, hihi...
Ya, sampai kemudian saya hidup di era internet dimana sekarang televisi hanya dijadikan sebagai latarbelakang untuk anak-anak saya bermain.
Lha iya, sekarang anak-anak saya itu senangnya menyalakan tv trus ditinggal beraktivitas lainnya, entah main, entah belajar, entah nonton yutub di hape. Untuk brisik-brisik katanya, gak boleh itu tv dimatikan.
Dan ya, tv analog memang sudah tidak jamannya lagi. Dari sisi tampilan saja, mata kita sudah biasa melihat gambar dengan resolusi tinggi, high definition yang membuat noda kecil di kulit mulus artis layar kaca jadi terlihat jelas.
Ya, jaman memang terus berjalan, sebuah era pasti akan berakhir, akan berganti dengan era selanjutnya. Yang patah tumbuh yang hilang berganti kalau kata band Banda Neira mah...