Itu adalah sebuah malam pada saat bulan Agustus di sebuah lomba pingong di tengah kampung. Dengan bendera, umbul-umbul dan lampu yang terpasang meriah dan penuh warna. Juga iringan lagu-lagu perjuangan dalam berbagai versi.
Itu adalah Kang Yit yang tertawa ngakak membahas partai final lomba pingpong yang akan mempertemukan dirinya dan anaknya sendiri.
Ya, menurutnya orang sekampung sudah keterlaluan karena tidak ada yang becus main pingpong sehingga menjebaknya dalam suasana yang cukup sulit.
"Wah ya malah serba repot to ini.., kalau mau sungguh-sungguh kok lawan anak sendiri tapi ya mosok mengalah.., ya gak mendidik to yes" Kang Yit melakukan semacam pre-final conference.
Para komentator pun mulai merespons dengan aliran dan alam pemikiran masing masing...
"Ya kalo sama anak sendiri ya mbok sudah, ngalah biar anak seneng..." ini komentar dari aliran sayang anak dan suka mengalah pada anak.
"Ya yang sportif to nda, mosok ya mengalah, menipu anak sendiri itu namanya..." ini komentar dari aliran penjunjung tinggi sportivitas.
"Wah, kalo gak ngalah nanti dimarahi bojomu lho Kang, gak dapat jatah kapok..." ini komentar dari mazhab pemikir untung rugi dan penyaluran hasrat biologis dibumbui dengan pemikiran aliran takut isteri.
"Main yang bener to Kang, mosok final cuma main-main tok, ditonton orang banyak je..." ini komentar dari aliran butuh hiburan bermutu dan melindungi hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan bermutu.
"Halah, ngalah aja Kang timbang capek, hadiah bagi dua.. paling juga cuma dapat handuk to.." ini aliran apatis materialistis yang menilai apa saja hanya dari sisi nominal dan materi.