Childfree, menikah tapi memutuskan untuk terbebas dari keberadaan anak sehingga secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak di kampung saya merupakan sebuah konsep yang sangat tidak populer.
Di kampung saya, orang menikah pasti ingin punya anak, ada yang belum punya anak belum dikaruniai keturunan tapi keinginan untuk memiliki anak itu ada sehingga segala usaha dilakukan, mulai dari konsultasi ke dokter spesialis, ke pengobatan tradisional maupun upaya-upaya lain untuk bisa segera dapat melahirkan keturunan.
Ada juga memang yang menunda punya anak setelah menikah, alasannya biasanya faktor ekonomi atau mungkin masalah pekerjaan, tapi ya niat untuk punya anak tetap ada, mungkin yang begini bisa disebut childfree temporer. Kalau yang model begini di lingkungan saya ada.
Beda di kampung saya, beda pula di lingkungan dunia lain. Di belahan dunia lain ternyata banyak orang yang punya alasan untuk tidak mau punya anak. Ada banyak alasannya, mulai dari masalah pekerjaan, keengganan terganggu dengan keberadaan anak sampai masalah populasi manusia di dunia yang sudah terlalu banyak.
Secara faktual, saya bukan seorang dengan pilihan hidup childfree karena memang saya sudah punya anak. Anak pertama saya lahir saat usia saya 33 tahun. Saya menikah di usia 32 tahun dan memiliki anak adalah salah satu hal penting yang kami rencanakan saat menikah.
Di kampung saya menikah di umur 32 bisa dikategorikan agak terlambat. Ya, selain karena alasan gak laku-laku, saya memang juga cenderung ingin menikah ketika saya sudah benar-benar merasa siap (dan ada yang mau tentunya).
Nah, di saat menunggu merasa siap tersebut mungkin saya bisa dikategorikan childfree, yang temporer tentunya karena di lubuk hati saya ada keinginan untuk punya anak.
Baiklah,
Saya punya anak di usia 33 tahun, Itu adalah usia yang pas buat seorang laki-laki untuk menjadi seorang ayah, usia yang pas buat seseorang untuk menjadikan keluarga sebagai orientasi utama di episode hidupnya.
Ya, setidaknya itu menurut lagu 100 years-nya Five for Fighting.