Ceritanya, si bude yang mbantu saya momong anak-anak dapat transferan uang dari jazirah arab, dari kakaknya yang kerja jadi asisten rumah tangga di sana. Transfernya numpang ke rekening isteri saya. Nah, Â tadi pagi isteri nelpon nyuruh saya yang masih di rumah, suruh nanyain ke si bude berapa duit yang ditransfer.Â
Bertanyalah saya ke si bude sambil masih memegang hp, Â seperti berpikir sebentar, si bude lalu menjawab, sekian riyal (mata uang arab). Lha.., lalu saya teruskan ke bojoku itu informasi.Â
Trus bojoku nanya lagi ke saya, "kemarin kamu terakhir ambil duit di ATM, saldo masih berapa, pakne?".. Â "wah ya lupa", jawabku karena benar-benar lupa... Trus bojoku menggerutu karena ndak tahu jumlah pasti duit yang masuk rekening berapa rupiah
A few moment kemudian.., sambil mempersiapkan air panas buat mandiin anak-anak, saya tanya sekali lagi ke bude, dengan suasana yang lebih santai, informasi lebih presisi ternyata kudapat, ia cerita kakaknya mentransfer duit sekian juta lebih sekian.., dalam rupiah.
Yang menarik di sini adalah, si bude ini sebenarnya sudah tahu jumlah rupiah yang ditransferkan kakaknya kepadanya, tapi entah kenapa ia memilih memberikan informasi dalam riyal. Ha.., ini yang perlu dibahas...
Jadi, pada saat pertama itu, ketika menerima telepon dari isteri kan suasananya bisa dibilang genting. Genting dalam artian sedang ada orang ditelepon yang menunggu sebuah informasi, dan seseorang itu adalah bosnya. Dalam waktu singkat ia berfikir memberi info riyal atau rupiah, dan bang... Dia milih riyal.Â
Kenapa? Karena riyal kelihatan lebih keren, luar negeri, ada gengsi yang bisa mengangkat inferioritas terhadap majikannya. Haha.., padahal itu info malah bikin pusing karena jumlah rupiahnya kita jadi gak tahu secara tepat, ya minimal perlu usaha lebih lah...
Baru kemudian, saat kondisi lebih tenang, dan informasi yang tak berikan lebih jelas, tentang bagaimana bojoku nanti bingung harus ngambil duit berapa tepatnya, barulah si bude ini memberi info dalam bentuk rupiah tadi.Â
Ya.., perlu pemahaman yang jelas dan saat yang tepat untuk bisa memperoleh informasi yang valid. Valid dalam hal ini ya sesuai dengan kenyataan dan sesuai dengan yang dibutuhkan, biar gak salah dalam menarik jumlah rupiah. Dan, informasi valid tersebut yang sudah ada di ujung lidah, tiba-tiba hilang oleh satu nilai internal berupa "biar terlihat keren"...
Ya, kalau informasi yang berasal dari hasrat untuk "biar terlihat keren" saja sudah bisa membuat kacau, apalagi informasi tersebut berasal dari hasrat untuk "berkuasa" atau untuk "yang penting menang peduli setan yang lainnya".
Aku langsung ingat berapa banyak informasi yang berasal dari nara sumber yang sedang emosi atau sedang menggebu-gebu menyerang lawan politik, atau sedang mati-matian membela diri dan kelompoknya. Ini memprihatinkan, karena memang susah untuk bisa memperoleh informasi valid dari seseorang yang sedang emosi apalagi tidak netral.Â