Mohon tunggu...
Yhudi Yuba
Yhudi Yuba Mohon Tunggu... -

berlajar untuk berbagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sedikit Coretan ku Tentang Uang Panai'

16 Desember 2011   12:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:10 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedikit Coretan ku Tentang Uang Panai'. - Masih teringat akan topik perbincangan ku dengan teman-teman ku tadi siang. “Uang Panai’ (sebutan uang mahar di kampung saya Sulawesi Selatan)” sepertinya menjadi judul  dari pembahasan kami tadi siang itu dengan sedikit perdebatan antara si Pro dan si Kontra. Sebagai seorang pemuda yang normal  dan sudah berpenghasilan maka hal selanjutnya yang terpikirkan tentu saja adalah menikah. Karena yang saya tahu Menikah merupakan penyempurna agama dan wajib hukumnya bagi lelaki seperti saya yang sudah mampu. Selain untuk mencegah dari perbuatan yang haram. Tetapi yang menjadi kendala saya saat ini adalah selain saya belum punya calon untuk dipersunting sebagai istri (hehehehehe) Uang Panai’ juga sepertinya menjadi penghalang saya untuk melamar jodoh ku kelak. Karena seperti yang saya ketahui  kalau Uang Panai’ dikampung saya tidaklah sedikit ,  Setiap prosesi pernikahan secara adat pasti mensyaratkan adanya uang panai'. Uang panai' itu semacam seserahan kepada keluarga calon pengantin wanita dari calon pengantin pria. Sayangnya, budaya uang panai' ini justru kadang memberatkan kaum pria. Mengapa? Sebab nilainya sangat besar dan kadang sangat boros. Bahkan dalam perbincangan ku tadi siang dengan teman-temanku itu sempat terbesit dari mulut mereka kalo uang panai’ berkisar dari angka 20juta – 40juta. Bukan cerita baru lagi di telinga saya bahwa di sekitar saya ada calon mempelai pria harus menjual sawah untuk membiayai pernikahannya. Di lain waktu, kita mendengar ada seorang PNS bahkan seorang polisi harus berurusan dengan bank dan koperasi untuk mencukupkan uang panai’nya. Dan setelah itu, kita mendengar cerita yang lebih memilukan__mereka bercerai karena tak ada lagi gaji yang bisa membiayai kebutuhan hidup, semua telah “dipotong dan dipenggal” oleh bank dan koperasi. Bahkan saya tidak habis kepikiran ketika sebagian dari kita menjadikan pernikahan tetangga atau keluarga yang lain sebagai pembanding. Kita seakan berlomba untuk melaksanakan pernikahan yang serba wah...! kita tak mau kalah. Kalau tetangga menghadirkan musik yang meriah, kita hadirkan artis ibukota. Bisa jadi, karena inilah kenapa setiap ada keluarga yang baru saja dilamar, pertanyaan pertama adalah, “berapa uang panai’nya ?” Sepertinya budaya Sipakainge’ (saling mengingatkan) harus lebih ditanamkan lagi didalam hati kita, Mari saling mengingatkan antara kita sebagai orang bugis makassar. Mari mulai dari diri sendiri. Jika kita mempunyai anak atau adik perempuan, janganlah mempersulit dengan uang panai' saat ada pria yang datang melamar. Jangan sampai uang panai' itu akan terus meningkat sejalan dengan inflasi perekonomian. Uang panai’ hanyalah budaya dan kebiasaan masyarakat terkhusus di Sulawesi Selatan yang sungguh tak mempengaruhi sedikit pun sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Jangan sampai gara-gara harga sembako yang terus naik maka uang panai’ juga makin melambung tinggi dan berharap pada calon pemimpin yang akna datang untuk selain memberi Kesehatan dan Pendidikan Gratis kepada masyarakat tapi alangkah baiknya kalau membuat Program Uang Panai' Gratiss. Hehehehehehe…. Sekian coretanku tentang budaya uang panai’ dikampung saya yang tercinta ini, mohon maaf kalau ada salah-salah kata, karena sesungguhnya saya hanya menulis dari apa yang saya lihat dan rasakan dan mohon diluruskan kalau ada yang salah dari postingan saya ini. Tabe’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun