Mohon tunggu...
Yhosia
Yhosia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Bermain Piano Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Universitas : Mercubuana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus "Teodisi dan Kejahatan"

18 November 2022   02:31 Diperbarui: 18 November 2022   03:13 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: saa.iainkediri.ac.id diolah penulis

Nama : Yhosia Jonathan Azriel

NIM : 42321010038

Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Universitas Mercubuana

PENGERTIAN TEODISI

Teodisi dalam ranah serta kajian filsafat boleh dikatakan kurang menemukan atensi para filsuf dibanding dengan metafisika misalnya. Apalagi cenderung terlupakan. 

Pada perihal wajib diakui modul yang di milikinya sangat mendasar serta bernilai dalam upaya uraian manusia. Spesifikasi teodisi terletak pada penekanan atas sebab- akibat serta penyelenggaraan ataupun proviodensi Tuhan yang ialah bagian substansial apabila mempercakapkan manusia. Problem tentang teodisi seumur dengan manusia itu sendiri. 

Konstatsi ini sejalan dengan mengerti kreasionisme lebih- lebih sehabis buah pengetahuan baik serta kurang baik dimakan oleh Adam. Pelanggaran perintah Tuhan merupakan dini dari teodisi yang dimaksudkan. Keburukan( evil) mencoreng wajah kosmikal kenyataan tercantum mahluk lain Di balik peristiwa teoditik tersebut kejahatan dalam tataran raga manusia tereksplisitkan.

Segalanya berhamburan. Demikian pula kejahatan dalam ranah moral selamanya akrab dengan manusia. Ketidak- adilan jadi panorama alam tiap hari di tiap era. Singkatnya kejahatan senantiasa bersimaharajalela. Salah satu tantangan yang lumayan berat untuk eksistensi agama tiba dari problem kejahatan yang ditatap oleh sebagian filosof selaku fakta lemahnya eksistensi agama ataupun Tuhan. 

Sebagian orang memandang kenyataan kejahatan selaku fakta tidak terdapatnya Tuhan ataupun agama, serta terdapat pula kebalikannya, yang memandang kejahatan tidak berlawanan dengan eksistensi Tuhan ataupun agama. Theodecy secara simpel aku maknai selaku mengerti yang menolak kedatangan Tuhan( serta karenanya pula agama) oleh karena merajalelanya kejahatan, kemaksiatan, bencana, serta sejenisnya. 

Logika argumentasi yang dibentuk merupakan kalau jikalau Tuhan terdapat, bukanlah bisa jadi Tuhan membiarkan kondisi serta peristiwa yang menistakan serta merugikan manusia tersebut berlangsung, terusmenerus lagi. Bukankah Tuhan, dalam pemikiran orang- orang theistik/ beragama, merupakan wujud yang maha baik serta menghendaki kebaikan untuk manusia? Bukankah Tuhan berpihak pada seluruh suatu yang baik? Bagaimana kita memaparkan peristiwa bencana dari sudut pandang teologis? Sangat tidak gampang serta tidak simpel menjelaskannya.

Bagaimana manusia menguasai keadilan serta kebenaran Allah dalam tiap bencana yang terjalin atas dirinya? Persoalan ini yang berhubungan dengan tema theodecy, ialah persoalan klasik yang terus menerus dipertanyakan di tiap waktu serta tempat. Postingan ini hendak mangulas tentang kejahatan serta campur tangan Tuhan dalam perspekttif teodesi serta teologi Islam. 

Sesuatu kesusahan yang dialami oleh pemakalah merupakan kala menghubungkan antara konsep teodisi yang berorientasi pada teologis rasionalis dengan konsep teologi Islam yang berorientasi pada bacaan. Sehingga aku sadari makalah ini masih terjebak pada tataran teologis dari pada sosiologis serta antropologis.

KARAKTERISTIK TEODISI

Secara etimologi, teodisi berasal dari bahasa Yunani" theos" berarti tuhan serta" dike", maksudnya keadilan, yang ialah riset teologis filosofis yang berupaya guna membetulkan Allah( sebagian besar dalam monoteistik) serta bertabiat omni- kebajikan( seluruh menyayangi) , kemahatahuan serta kemahakuasaan atas seluruh makluk Nya. Serta bila dikaji, nyatanya sebagian teolog memakai sebutan ini selaku justifikasi atas sikap Tuhan kepada seluruh makhluk. 

Sebutan ini mencuat pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam suatu karya berbahasa Prancis bertajuk Essais sur la Thodice Bonte de Dieu, la Libert de l' homme et l' origine du mal( Teodisi: Esai tentang Kebaikan Tuhan, Kebebasan Manusia serta Keaslian watak Setan). 

Tujuan esai ini buat menampilkan kalau kejahatan di dunia tidak berlawanan dengan kebaikan Tuhan, walaupun banyak kejahatan, dunia senantiasa dalam keadaan sangat indah serta mengasyikkan. Sebaliknya monoteisme( berasal dari kata Yunani monon yang berarti tunggal serta theos yang berarti Tuhan), merupakan keyakinan yang melaporkan kalau Tuhan ialah bentuk yang satu/ tunggal serta berkuasa penuh atas seluruh suatu.

Monoteisme mengambil wujud teisme, sebutan yang mengacu pada kepercayaan tentang Tuhan yang' individu', maksudnya satu Tuhan dengan karakter yang khas, serta bukan semata- mata sesuatu kekuatan ilahi saja. Tidak hanya itu, deisme merupakan wujud monoteisme yang meyakini kalau Tuhan itu terdapat. Tetapi demikian, seseorang deis menolak gagasan kalau Tuhan ini turut campur dalam perkara dunia. 

Watak Tuhan ini cuma bisa diketahui lewat nalar serta pengamatan terhadap alam. Sebab itu, seseorang deis menolak hal- hal yang gaib serta klaim kalau sesuatu agama ataupun kitab suci mempunyai pengenalan hendak Tuhan. Selaku tolok ukur kebenaran merupakan" penyerahan' seorang secara total kepada Tuhan. 

Penyerahan diri yang diartikan merupakan menempatkan diri selaku hamba Tuhan buat mencari keridaanNya serta tidak lagi hidup buat kepentingannya sendiri, sebab cuma dengan demikian seseorang muslim dikira kaffah dalam beragama.

KAITAN TEODISI DAN KEJAHATAN

Kejahatan merupakan satu dari sekian banyak kesusahan yang berkaitan dengan perkara keadilan Tuhan. Ulasan ini terasa susah, sebab dia memanglah bukan perkara ilmiah yang bisa dijawab lewat eksperimen serta observasi, bukan pula permasalahan instan yang dapat dituntaskan dengan keputusan serta aksi. Dia lebih ialah problem filosofis yang menghendaki sesuatu dalil pemikiran yang bisa menjelaskannya secara sepadan.

Teodisi selaku pemikiran filosofis yang bergulat dengan konsep kejahatan, semacam dikatakan Huston Smith, merupakan batu karang. Keadilan Tuhan ialah problem filosofis yang sangat fundamental sehingga tiap sistem rasionalistik pada kesimpulannya hendak terbentur. Namun, perihal itu bukan berarti kalau uraian terhadap problem kehidupan tidak bisa dipahami sebab permasalahan ini sesungguhnya cuma perkara sudut pandang. Ibarat anak kecil yang menjatuhkan es krimnya, kejadian itu seolah ialah akhir dunia menurutnya. Tetapi, tidak demikian halnya dengan uraian si bunda. 

Cerminan seragam pula terjalin pada diri seseorang agamawan, filosof, ilmuwan serta orang yang tidak beragama sekalipun kala memandang pengalaman serta nilai- nilai pada dataran eksistensial. 

Seseorang ateis hendak berkata jika kejahatan tercantum perkara yang berlawanan dengan keadilan Tuhan, lagi kalangan politeis, sebagaimana kalangan dualis, hendak berpendapat jika apabila terdapat kejahatan serta kebaikan hingga meniscayakan terdapatnya 2 sumber bentuk. 

Maksudnya, tiap kejahatan serta kebaikan, tiap- tiap hendak berhubungan dengan sumber ataupun pencipta yang berbeda. Namun, dalam dunia monoteis, walaupun dualitas itu masih terdapat, kebaikan senantiasa selaku yang di atas. Kebalikannya, dalam pemahaman mistik, kejahatan sirna sama sekali serta cuma tinggal kebaikan, ialah Tuhan.

Sebab itu, saat sebelum berikan pendapat lebih jauh menimpa perkara teodisi butuh dibahas tentang hakikat kejahatan. Apakah kejahatan ialah perkara eksistensial serta realistis ataukah perkara non- eksistensial serta relatif? Untuk kalangan ateis, politeis serta dualis, jawabnya jelas kalau kejahatan mempunyai essensi, apalagi tercantum sifat- sifat kurang baik ataupun jahat, semacam pembohong, bakhil, khianat serta sebagainya ialah sifat- sifat real pada manusia, serta watak tersebut sekalian ialah esensinya. Kalangan ateis memandang kalau nilai ialah salah satu aspek dari pengalaman sehingga kejahatan selaku sesuatu nilai wajib pula digali dari pengalaman. 

Dengan kata lain, nilai kejahatan tidak hendak sempat terdapat bila dia tidak termanifestasi secara eksistensial di lapangan. Sedangkan itu, kalangan dualis, walaupun pula menegaskan terdapatnya hakikat bentuk jahat, sesungguhnya hendak melepaskan Tuhan dari kejahatan. Namun, dengan penegasannya itu mereka bukan saja sudah menyekutukan Tuhan dengan bentuk lain selaku pembentuk kejahatan, apalagi sudah mereduksi kehendak serta kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas selaku pencipta kebaikan semata. 16 Pemikiran ini di antara lain tercermin pada diri Leibniz yang berpendapat kalau Tuhan tidak bisa melaksanakan suatu yang secara logis tidak barangkali, meski dia lekas memberi catatan kalau kenyataan ini sama sekali tidak memiliki penafsiran menghalangi kemahakuasaan Tuhan.

SUMBER

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun