Kejahatan merupakan satu dari sekian banyak kesusahan yang berkaitan dengan perkara keadilan Tuhan. Ulasan ini terasa susah, sebab dia memanglah bukan perkara ilmiah yang bisa dijawab lewat eksperimen serta observasi, bukan pula permasalahan instan yang dapat dituntaskan dengan keputusan serta aksi. Dia lebih ialah problem filosofis yang menghendaki sesuatu dalil pemikiran yang bisa menjelaskannya secara sepadan.
Teodisi selaku pemikiran filosofis yang bergulat dengan konsep kejahatan, semacam dikatakan Huston Smith, merupakan batu karang. Keadilan Tuhan ialah problem filosofis yang sangat fundamental sehingga tiap sistem rasionalistik pada kesimpulannya hendak terbentur. Namun, perihal itu bukan berarti kalau uraian terhadap problem kehidupan tidak bisa dipahami sebab permasalahan ini sesungguhnya cuma perkara sudut pandang. Ibarat anak kecil yang menjatuhkan es krimnya, kejadian itu seolah ialah akhir dunia menurutnya. Tetapi, tidak demikian halnya dengan uraian si bunda.Â
Cerminan seragam pula terjalin pada diri seseorang agamawan, filosof, ilmuwan serta orang yang tidak beragama sekalipun kala memandang pengalaman serta nilai- nilai pada dataran eksistensial.Â
Seseorang ateis hendak berkata jika kejahatan tercantum perkara yang berlawanan dengan keadilan Tuhan, lagi kalangan politeis, sebagaimana kalangan dualis, hendak berpendapat jika apabila terdapat kejahatan serta kebaikan hingga meniscayakan terdapatnya 2 sumber bentuk.Â
Maksudnya, tiap kejahatan serta kebaikan, tiap- tiap hendak berhubungan dengan sumber ataupun pencipta yang berbeda. Namun, dalam dunia monoteis, walaupun dualitas itu masih terdapat, kebaikan senantiasa selaku yang di atas. Kebalikannya, dalam pemahaman mistik, kejahatan sirna sama sekali serta cuma tinggal kebaikan, ialah Tuhan.
Sebab itu, saat sebelum berikan pendapat lebih jauh menimpa perkara teodisi butuh dibahas tentang hakikat kejahatan. Apakah kejahatan ialah perkara eksistensial serta realistis ataukah perkara non- eksistensial serta relatif? Untuk kalangan ateis, politeis serta dualis, jawabnya jelas kalau kejahatan mempunyai essensi, apalagi tercantum sifat- sifat kurang baik ataupun jahat, semacam pembohong, bakhil, khianat serta sebagainya ialah sifat- sifat real pada manusia, serta watak tersebut sekalian ialah esensinya. Kalangan ateis memandang kalau nilai ialah salah satu aspek dari pengalaman sehingga kejahatan selaku sesuatu nilai wajib pula digali dari pengalaman.Â
Dengan kata lain, nilai kejahatan tidak hendak sempat terdapat bila dia tidak termanifestasi secara eksistensial di lapangan. Sedangkan itu, kalangan dualis, walaupun pula menegaskan terdapatnya hakikat bentuk jahat, sesungguhnya hendak melepaskan Tuhan dari kejahatan. Namun, dengan penegasannya itu mereka bukan saja sudah menyekutukan Tuhan dengan bentuk lain selaku pembentuk kejahatan, apalagi sudah mereduksi kehendak serta kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas selaku pencipta kebaikan semata. 16 Pemikiran ini di antara lain tercermin pada diri Leibniz yang berpendapat kalau Tuhan tidak bisa melaksanakan suatu yang secara logis tidak barangkali, meski dia lekas memberi catatan kalau kenyataan ini sama sekali tidak memiliki penafsiran menghalangi kemahakuasaan Tuhan.
SUMBER
- https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/download/2/3
- https://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/psiko/article/view/360
- http://repository.uin-malang.ac.id/1069/3/kejahatan.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H