Mohon tunggu...
Yohannes Krishna Fajar Nugroho
Yohannes Krishna Fajar Nugroho Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Video Editor dan Junior Public Relations

It's ok to be different.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

R.A. Kartini dan Emansipasi di Era Modern

8 Mei 2024   12:42 Diperbarui: 8 Mei 2024   12:47 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok. Pribadi

Sering terdengar kalimat yang mengucapkan "Anak perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi? toh ujung ujungnya jadi ibu dan punya anak?" Sangat miris bukan, di era milenial masih ada kalimat seperti itu, kalimat yang pada waktu itu ditentang oleh R.A. Kartini. Memang, di Indonesia sendiri sudah banyak perempuan yang duduk di bangku perguruan tinggi, menduduki jabatan-jabatan strategis, bahkan negara ini pernah punya presiden perempuan. Jelas ini merupakan satu contoh emansipasi yang sudah diterapkan di era modern, namun tidak banyak perempuan-perempuan yang menduduki posisi itu. Secara normatif hal hal tersebut merupakan satu hal yang diglorifikasi oleh banyak pihak, namun secara aplikatif masih banyak kelompok wanita di daerah yang terisolir oleh nilai-nilai budaya seperti yang sudah dibahas di atas. 

Sumber: Dok. Pribadi
Sumber: Dok. Pribadi

Perempuan Jawa di Era Modern. 

Bahas perempuan Jawa di era modern, sudah banyak mengalami perubahan dibandingkan zaman R.A Kartini dahulu. Banyak perempuan yang sudah mengenyam pendidikan tinggi dan menjalani kuliah di universitas-universitas ternama. Tidak jarang perempuan ditempatkan di posisi-posisi strategis profesional, dan tidak sedikit juga kaum perempuan menjadi dosen di perguruan tinggi, serta menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan, bahkan kementerian. 

Meskipun perempuan Jawa semakin terlibat dalam kehidupan profesional dan publik, mereka masih memegang peran penting dalam menjaga harmoni keluarga dan membesarkan anak-anak. Namun, konsep tentang peran gender dalam keluarga juga berubah seiring dengan perkembangan nilai-nilai modern. Namun seperti saya sudah dijelaskan di atas, nilai-nilai kultur di Indonesia masih mewajibkan perempuan untuk menikah, hamil, dan punya anak. 

Praktek perjodohan juga tidak jarang masih terjadi di era modern ini dengan embel-embel dikenalkan. Bahkan, hal itu kadang masih dilakukan oleh orangtua yang masih memegang tradisi budaya Jawa. Tidak hanya praktek perjodohan 'tuntutan' untuk segera menikah juga menjadi momok bagi banyak wanita di era modern ini. Orang Tua dari kultur Jawa masih memiliki pandangan jika seorang anak gadis sudah punya pacar maka harus segera dinikahkan, kalau bisa tidak perlu pacaran dalam waktu yang lama, jika tidak punya jodoh hingga tenggat waktu yang ditentukan maka orangtua akan 'mencarikan' pasangan untuk anaknya. Juga masih banyak orangtua yang khawatir kalau anak perempuannya 'jauh jodoh' dengan alasan supaya cepat menikah, punya anak dan tidak usah khawatir di hari tua. 

R.A. Kartini menekankan bahwa pernikahan adalah hak bagi si anak perempuan untuk memilih pasangannya sendiri, namun tidak sedikit cerita bahwa ada orangtua yang melakukan intervensi dalam keputusan si anak. Seperti yang sudah saya bahas di atas ada kekhawatiran orang tua supaya anaknya segera menikah dan punya anak. Saya pernah mempertanyakan di artikel sebelumnya, apakah Pernikahan itu merupakan sebuah tuntutan budaya?. Tidak jarang bahwa pernikahan anak menjadi sebuah 'kebanggaan' dari orang tua karena banyak orang tua menganggap bahwa pernikahan si anak merupakan pencapaian mereka sehingga akan ada 'publikasi' ke teman-teman si orang tua. 

Dari faktor internal si perempuan sendiri tidak sedikit ada yang menempatkan dirinya di bawah laki-laki dengan memilih menjadi ibu rumah tangga, mengurus anak, dan mengurus suami. Jika hal itu merupakan pilihan si perempuan dan si laki-laki mau menerima hal itu, selama tidak ada paksaan ya berarti aman-aman saja. Hal itu merupakan bentuk hak prerogatif si wanita untuk memutuskan akan menjalani peran yang bagaimana. Kasus lain adalah fenomena di transportasi umum. 

Dapat dipahami bahwa emansipasi wanita merupakan upaya-upaya untuk kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Apakah pemberlakuan Kereta Khusus Wanita di rangkaian KRL dan Ruang Khusus Wanita di Bus Trans Jakarta bertujuan untuk menyetarakan kelompok perempuan atau malah menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan harus dilindungi di satu tempat khusus? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun