sebelumnya Takdir untuk Sumi #7
“Ayo, Nak. TemuiAyahmu.” Sumi tersentak, dia kembali tersadar. Dia pulang karena mendengar kabar ayahnya sakit. Segera dia bangkit dan setengah berlaribergerak menuju kamar orang tuanya yang pintu masuknya tepat berada di sebelah meja televisi.Sumi memutar gagang pintu dan mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Dia tidak segera masuk. Kakinya tiba-tiba tidak dapat digerakkan. Dia berdiri mematung tepat di tengah-tengah pintu kamar. Di depannya sosok ayah yang selama ini sangat dipuja-pujanya, sangat disayanginya, terbaring tak berdaya. Tubuhnya sangat kurus sehingga hidungnya yang bangir terlihat semakin lancip seperti sebuah benda asing yang menempel di wajahnya.
“Kaukah itu, Sumi?” telinga Sumi menangkap desah lirih yang datang dari atas tempat tidur.
“ Akhirnya kamu pulang juga. Ayah sangat rindu, Nak. Maafkan ayah yang tak mampu menjagamu” Sumi masih terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapannya, dia bergeming. Hanya butiran air mata yang mengaliri wajahnya yang terlihat bergerak. selebihnya tetap diam dengan kaku.
“Sumi, Ayah memanggilmu.“ Sentuhan lembut pada lengannya mengembalikan kesadarannya. Tertatih Sumi melangkah mendekati pembaringantempat tubuh ayahnya terbaring lemah.
Jika tadi pagi dia harus berurai air mata karena harus meninggalkan buah hati yang disayanginya, sekarang yang dirasakannya tak kalah menyakitkannya dari itu. Dia bukan saja diliputi sesal karenamelukai orang-orang yang dicintainya, tetapi dia juga merasakan sedih yang selama ini ditanggungkan keluarganya karena kepergiannya.
“Sumi, kemari, Nak.” kembali terdengar suara lirih itu. Sumi mempercepat langkahnya. Dia langsung menghambur kedalam pelukan lelaki yang terlihat tua dan menderita itu.
“Maafkan Sumi Ayah. Semua ini karena Sumi. Sumi yang menyebabkan semua jadi begini.”ratapnya dalam pelukan lelaki itu.
“Sumi, bila ada anak-anak menderita, itu pasti karena kesalahan orang tuanya. Kami yang telah membuatmu pergi.Seandainya…”
“Tidak, Ayah. Bukan salah Ayah, juga bukan salah Ibu. Ini karena Sumi. Sumi yang bodoh. Sumi yang telah membuat semuanya jadi begini.” isakan Sumi kini berubah menjadi rintihan.
Lelaki paruh baya, yang tampak jauh lebih tua dari usianya itu mengusap lembut punggung Sumi dengan tangannya yang kurus.
“Sudahlah, Nak. Jangan seperti ini. Ayah bahagia karena akhirnya kamu pulang. Ayah kini menjadi lega.” terdengar helaan nafasnya yang lemah.
“Ayah lega karena Ibumu tidak lagi harus melakukan semuanya sendiri. “ lanjutnya kemudian.
Sumi masih saja terisak. Kepalanya masih berada di atas dada ayahnya. Dia tidak tahu lagi cara untuk mengungkapkan rasa sesalnya . Di dada ayahnya, dia merasakan kembali cinta kasih yang selama ini sangat dirindukannya. Belaian dipunggungnya membuat dia merasa kembali menjadi seorang remaja yang dilimpahi kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Sumi memejamkan matanya, mengusir bayang-bayang Doni, yang tiba-tiba melintas dan membuatnya merasa sangat terluka.
Lama Sumi berada dalam keadaan seperti itu, itu terlalu indah untuk segera diakhirinya. Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya, ada sesuatu yang mengusik ketenangannya. Dia merasa telah terjadi sesuatu. Jantungnya berdegup kencang. Di letakkannya kembali kepalanya di dada ayahnya, kali ini dia menempelkan telinganya ke dada laki-laki itu. Tak ada suara. Detak jantungitu telah berhenti. Sumi tak ingin mempercayai itu. Dia sentuh wajah ayahnya. Mencoba membangunkan laki-laki yang terlihat tertidur dengan senyum itu. Tak ada reaksi.
“Ayah…Ayah…” tak ada sahutan. Laki-laki paruh baya itu telah menyelesaikan tugas hidupnya. Sesuatu yang mungkin sajaseharusnya sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Kehadiran Sumi, itu yang ditunggunya. Setidaknya dengan cara itu dia tidak membiarkan istrinya menghadapi semuanya sendiri.
Sumi hanya berdiri mematung. Memandangi wajah ayahnya yang semakin memucat. Ada senyum kecil yang membayang di wajah lelaki itu. Degup jantung Sumi kini seperti dentuman yang menyakiti dirinya. Ada jeritan yang tertahan di pita suaranya. Air matanya yang mengalir deras pun tak disadarinya. Darahnya seolah membeku.
Ibu Sumi yang sedari tadi berdiri di sisi ranjang suaminya, juga terlambat menyadari apa yang tengah terjadi. Tangis perempuan paruh baya itu kemudian pecah sesaat setelah dia melihat suaminya tak bereaksi ketika dia menyentuhnya. Tangan yang dulu hangat saat memeluknya kini sedingin es.
@@@
Kematian adalah janji. Janji yang telah dipenuhi laki-laki paruh baya itu. Apapun peristiwa yang menjadi penyebabnya, hanyalah sekadar jalan. Kata-kataitulah yang akhirnya menyadarkan Sumi, membangun lagi kekuatannya untuk menghadapi kenyataan hidup selanjutnya.
Sejak saat itu, Sumi mencoba menata lagi segala sesuatu yang telah nyaris hancur, karena kesalahan besar yang telah dilakukannya. Dia dan ibunya, bersama mereka menghadapi kehidupan ini. Ada yang harus mereka perjuangkan. Adik laki-lakinya. Sumi ingin menebus kesalahannya dengan memberi kesempatan kepada adiknya. Adiknya harus berhasil. Itu adalah mimpi ayahnya. Mimpi mereka semua, sebelumnya. Untuk semua itu, Sumi melupakan usianya yang masih sangat muda. Bahkan untuk mewujudkan itu, dia tak pernah mengungkapkan keberadaan anaknya sendiri, yang ditinggalkannya di rumah Bunda Hesti.
Untuk mengingat sang buah hati, Sumi harus melakukannya diam-diam. Di tengah malam, ketika semua orang terlelap dalam istirah, dia bangun mimpi-mimpi indah bersama gadis kecilnya. Dia bayangkan gadis kecilnya menjelma menjadi bidadari cantik yang mengulurkan tangan ke arahnya. Mereka terbang…melayang… terbebas dari semua luka.
Gambaronline.com
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H