Mimpi terbesar Aliya dalam hidupnya adalah menjadi perempuan satu-satunya yang dicintai Dio, dia juga berharap akan menjadi satu-satunya perempuan yang mejadi sumber kebahagiaan bagi laki-laki yang dicintainya itu. Mimpi itu telah menjadi miliknya sejak dia mengatakan ‘ya’ dengan anggukan kepalamantap, saat Dion meminta kesediaannya untuk menjadi istri.
Harapan Dion terhadap Aliya, tidak berbeda. Dia ingin menjadi laki-laki satu-satunya yang akan menjadi sumber kebahagiaan bagi Aliya. Dion ingin menjaga bidadarinya itu agar terjauh dari semua bentuk kesedihan.
Perjuangan Dion mendapatkan cinta Aliya tidaklah mudah. Gadis cantik adik tingkat yang dikenalnya saat datang ke almamaternya untuk suatu urusan, seperti mutiara indah yang sangat terjaga, tetapi tetap ramah dan menyenangkan bagi orang-orang di sekitarnya. Itulah yang menjadi alasan bagi Dion, menjadikannya ratu satu-satunya yang berhak mengisi hatinya.
Mutiara indahitu kini tengah kehilanga kilaunya, justru di saat dia seharusnya berada pada puncak bahagia. Sejak menyadari dirinya hanyalah anak titipan, yang ibunya meninggalkannya diam-diam, Aliya begitu terpukul dan terhempas. Dia kini seperti selembar daun kering yang melayang-layang dan tidak tahu akan terjatuh di mana. Aliya tengah kehilangan rasa harga dirinya. Dia merasa semua orang tengah mencibir ke arahnya. Menertawakan rasa bahagia yang dinikmatinya selama ini.
“Dion, kamu sudah pikirkan permintaanku kemarin?” Aliya menyampaikan itu ketika Dion bermaksud menemaninya menghabiskan sisa sore di hari itu.
“Permintaan yang mana?” jawabnya sambil mengambil posisi duduk di sebelah Aliya.
“Kita bercerai…” jawabAliya datar dengan wajah menunduk.Dion tak segera menyahut. Dia hanya menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan perlahan, seolah begitu khawatir suara hembusan nafasnya semakin melukai Aliya. Dion terus berusaha menenangkan diri.
“Ay, apa yang membuatmu saat itu menerima lamaranku?” Dion balik bertanya.Aliya mengangkat wajahnya, mencoba memahami pertanyaan itu dari raut wajah laki-laki yang ada di sampingnya.
“Jawab dengan jujur, Ay. Jawabanmu akan sangat membantuku untuk memutuskan yang terbaik untuk kita.”
“Kau tahu jawabanku”masih dengan suara yang nyaris tak terdengar lalu kembali menunduk.
“Dulu aku sangat yakin bahwa aku tahu isi hatimu. Tapi, beberapa hari ini aku ragu. Aku takut telah salah menduga isi hatimu.” Suara Dion begitu tenang. Ketenangan Dion berhasil mengusik Aliya.
“Kamu tahu Dion. Aku sangat… teramat mencintaimu, itu yang membuat aku mau menikah denganmu”
“Jika kamu memang mencintaiku, mengapa kamu ingin menyakitiku? Bukankah seharusnya dicintai itu melahirkan rasa bahagia?” Aliya tak menyahut.
“Aliya, aku mencintaimu dan akan tetap mencintaimu. Aku tidak pernah melihat hal yang patut aku ragukan dari dirimu. Aku mencintaimu, menghormatimu dan sangat bangga menjadi suamimu. Itu selamanya, Aliya.”Kali ini Dion tak mampu lagi mengendalikan ketenangannya, ada getar penuh emosi menyertai semua kata-katanya. Dipeluknya Aliya. Air mata Aliya menderas, seiring dengan itu justru rasa sesak yang selama ini menekan hatinya perlahan mencair.
“Aku ingin menemuinya, Dion”ucap Aliya di sela isaknya.
“Ya, kita akan menemukannya. Aku janji.”
@@@
Sumi merindukan anaknya, itu sudah pasti. Seumur hidupnya dia menanggungkan rasa itu. Hingga hari ini dia masih menyimpannya dengan rapi di bagian terbesar kalbunya. Pertemuan sesaatnya dengan Aliya belum bisa membayar utang rinduitu, mengurangi pun tidak.
Sejak pertemuan singkat itu, Sumi semakin ingin mengenal Aliya. Membayar semua waktu yang telah terbuang. Melimpahi Aliya dengan seluruh cinta yang dia miliki. Sumi tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya. Ini menjadi penderitaan baru yang harus ditanggungnya.
“Sumi…”Suara panggilan ibunya membuatnya tak perlu berlama-lama memikirkan rasa duka di hatinya. Sumi kemudian menghampiri ibunya yang tengah menyelesaikan makan siangnya di ruang makan.
“Kamu belum makan, kan? Ayo, temani ibu makan.”
“Iya, Bu.” Sumi duduk di kursi makan, berseberangan dengan kursi yang diduduki ibunya. Mereka menikmati makan siang itu dengan tenang.
“Sumi, berapa umurmu sekarang?” Pertanyaan yang terucap tiba-tiba itu menyebabkan suapan Sumi terhenti. Diperhatikannya wajah ibunya yang masih melanjutkan makan dengan tenang.
“Empat puluh tahun, Bu” jawabnya kemudian.
“Waktu ibu seusiamu, kamu sudah berusia enam belas tahun. Ah, waktu begitu cepatnya berlalu. Ibu beruntung memiliki kamu. “Kata-kata itu diucapkan ibunya dengan cara yang biasa saja, seolah tak ada maksud lain yang menyertainya. Tapi, Sumi sangat paham arahnya dan itu pulalah yang menyebabkan dia tidak menanggapinya.
“Sumi, mengapa kamu tidak menikah?” Diamnya Sumi ternyata tak berhasil menghentikan kata-kata ibunya. Sumi tak tahu harus menjawab apa, dia biarkan ibunya terus menunggu.
“Sumi, ibu tak bisa mendampingi kamu selamanya. Kehidupan ini memiliki batas waktu. Ibu tidak tahu kapanwaktu bagi ibu berakhir. Ibu tak mungkin bisa meninggalkanmu dengan tenang, sementara tak ada seseorang yang menemanimu.”
“Ibu, jangan terlalu merisaukan saya. Saya sangat sadar ini adalah takdir untuk saya dan saya ikhlasmenjalaninya.”
“Ini belum tentu takdirmu, Nak. Kamu tak pernah berupaya membuatnya berbeda. Kamu terlalu sibuk memikirkan ibu, adikmu hingga kamu melupakan dirimu sendiri.”
Sumi lagi-lagi hanya diam. Pikirannya telah membawanya kembali ke masa-masa kelam yang harus dilaluinya selama ini. Memikirkan Aliya dan hari-hari manis yang ingin dilaluinya bersama.
“Sumi,sekarang saatnya kamu jujur sama Ibu.Siapa yang kamu temui beberapa hari lalu? Siapa gadis cantik yang ingin kau peluk? Apakah semua itu ada hubungannya dengan kepergianmu dulu”Pertanyaan-pertanyaan itu semakin memojokkan Sumi dan dia tak tahu bagaimana harus menjawabnya
“Bu, maafkan Sumi.” Hanya ini yang berhasil diucapkannya.
“Ibu tak pernah menyalahkanmu, Nak. Apa yang harus Ibu maafkan? Ibu hanya ingin kebahagiaanmu.Kamu seharusnya belajar dari kehidupan ini. Tak semua masalah bisa kau hadapi sendiri. Kamu masih punya Ibu yang seharusnya kamu percayai. Seandainya saja dulu…”
Sumi tak membiarkan ibunya melanjutkan kata-kata itu. Dia sudah tak sanggup mendengarnya. Sumi pun menghambur dalam pelukan ibunya dengan isak yang tak lagi bisa disembunyikannya. “Maafkan Sumi, Bu”ucapnya di sela-sela isakan itu.
Siang ini, setelah mampu meredakan isakkannya dan membuat hatinya kembali tenang, Sumi pun mengakui semuanya kepada ibunya. Banyak air mata yang mereka berdua tumpahkan.Air mata itu mengurai satu demi satu kekusutan dalam kehidupan Sumi.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H