Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf Ma, Kau Tak Bisa Menggantikannya

15 Februari 2013   22:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:15 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari pagi belum selesai menghapus jejakhujan pada pagutan malam. Kabut tipis menimbulkan rasa dingin yang membuat aku enggan untuk segera menyingkapkan selimut dan meninggalkan pembaringan. Air mata sudah tidak lagi deras mengalir, tetapi sesekali masih saja mengembang dan menghangatkan bola mataku.

Percakapan tadi malam…ah entah lah, menurutku itu sudah tidak pantas lagi disebut percakapan juga bukan perdebatan, tepatnya mungkin pertengkaran. Ya…pertengkaranku dengan mama yang berakhir dengan teriakan histeris mama sambilberlari menuju kamarnya dan menghempaskan pintu dengan keras.

“Kamu tidak pernah menyayangi mama!!!. Aku ini mamamu !!! Aku yang melahirkanmu!!!!”

Rasa marah, kecewa, sedih, juga rasa bersalah menguasai hatiku. Apa yang terjadi tadi malamsangat tidak aku inginkan, tapi itu terjadi dan aku secara sempurna telah menyakiti hati mama.

Salahkah aku bila cinta di hatiku untuk mama tidak pernah tumbuh menjadi sempurna?. Aku telah berusaha untuk itu, aku turuti kemauan mama untuk tinggal bersamanya, itulah pengorbananku sebagai bukti usahaku menerima takdirku lahir dari rahimnya.

Aku terlahir karena gagalnya usaha mama, yang waktu itu berusia 17 tahun, untuk menghentikan laju kehidupanku. Usaha yang dilakukannya ternyata dikalahkan oleh kekuatan Tuhan yang menghendaki aku tetap lahir dan hidup. Berbagai upaya yang dilakukan mama itu bukan tidak berakibat kepadaku, aku terlahirdengan sebuah kekurangan, aku hanya memiliki satu tangan.

Sejak awal mama tidak menginginkan kelahiranku, begitu juga orang tua mama, apalagi setelah mereka melihat kondisi fisikku. Tidaklah mengherankan jika kemudian mereka menyerahkanku kepada seorang kerabat yang tinggal di sebuah desa kecil di ujung barat pulau jawa.

Bunda, begitu aku memanggilnya, sangat menyayangiku, dia tidak pernah malu memperkenalkanku kepada siapapun. Bunda selalu berusaha membangun rasa percaya diriku walaupun aku berbeda dengan teman-temanku yang lain. Bunda tak pernah menceritakan kepadaku, siapa aku yang sebenarnya, Bagiku dialah bundaku, Bunda yang menyayangiku dengan segenap cinta yang dia punya dan akupun tumbuh layaksebagaimanaremaja lainnya.

Satu tahun yang lalu prahara itu d mulai, ya…bagiku ini sebuah prahara.

“Sifa, sekarang usia kamu sudah 15 tahun, kamu sudah jadi gadis remaja. Bunda ingin kamu tahu sesuatu“ Suatu hari Bunda memanggilku, ekspresi wajahnya terlihat tegang, ketegangan itu lalu menular pula kepadaku.

Kami duduk berdampingan di teras rumah, Bunda melingkarkan sebelah tangannya melewati punggungku dan tangan yang lain diletakkannya di atas lengan kanan, satu-satunya lengan milikku.

“Sifa, Besok akan ada tamu dari Jakarta, mereka ingin berkenalan denganmu”Bunda menata ucapannya sedemikian rupa, berusaha terlihattenang tetapi debaran dadanya yang terdengar semakin keras meyakinkanku bahwa ini bukanpercakapan biasa. Aku hanya diam menunggu dengan kegalauan yang tiba-tiba menyerang.

“Siapa mereka, Bunda?” Akhirnya Tanya itu terucap juga, setelah beberapa saat menunggu Bunda belum juga melanjutkan ucapannya. Bunda tidak langsung menjawab. Helaan nafasnya yang beratsemakin mempertegas dugaanku, ada yang tidak beres, yang aku khawatirkan bila bunda berpikir ingin menikahkanku, aku masih terlalu muda untuk itu.

“Sifa, mereka keluargamu”

“Keluargaku? Maksud Bunda, Keluarga kita?” Aku begitu bersemangat. Keluarga bagiku adalah hal yang sangat menarik. Selama ini aku hanya hidup berdua dengan Bunda.

“Ya, keluarga kita, tetapi sangat erat hubungannya denganmu”

“Keluarga papa?. Mereka keluarga papa ya?” Aku sangat berharap akan mengenal keluarga papa, figuryang tidak pernah aku kenal selama ini.

“Bukan..bukan….bukan mereka…!!” Bunda kembali terdiam, sepi kembali menimbulkan tekanan di dadaku.

Aku tidak memaksa bunda untuk segera bicara, biarlahbunda menata terlebih dahulu kata-kata yang akan diucapkannya, itu menurutku lebih baik dari pada mendesaknya dan membuatnya tidak nyaman.

Penantian yang seakan tidak berkesudahan. Tak ada suara kecuali suara detak jantungku yang berkejaran. Bunda hanya mengelus-elus tanganku. Kuangkat wajahku yang sebelumnya menunduk untuk membaca air muka Bunda. Aku berharap bisa menemukan sebuah jawaban di situ. Sepertinya bunda merasakan keresahanku. Dihelanya nafas berat berulang-ulang hingga akhirnya diputuskannya untuk kembali melanjutkan ucapannya.

“Sifa, sebetulnya…..Bunda hanyaibu asuhmu, merekalah keluargamu yang sebenarnya” kata-kata singkat itu terdengar seperti gempuran meriam yang menyerang ke arahku. Aku tak tahu harusbereaksi bagaimana, tubuhku tiba-tiba kaku, lidahku kelu, pikiranku buntu.

“Sifa, maafkan Bunda. Bunda harus mengatakan ini kepadamu. Bunda sebetulnya tidak ingin melakukannya, tapi sekarang keadaan mengharuskannya, Bunda juga tidak ingin kamu menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba mereka berada di sini” Bunda meraih tubuhku sehingga kepalaku berada di dadanya. Gejolak di dadaku semakin tak terkendali. Aku tidak tahu rasa apa yang tengah menyerangku ini. Bahagia?. Bukan, aku yakin, Bukan!!!

“Bunda, jangan katakan kedatangan mereka untuk menjemputku. Bunda juga tidak boleh mengijinkan mereka membawaku”Isakan yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah menjadi tangisan yang mengguncang seluruh tubuhku. Aku peluk tubuh Bunda dengan erat. Aku sangat takut bila tiba-tiba Bunda hilang dari sisiku.

“Jika bunda bisa melakukan itu, pasti bunda lakukan, Sifa. Bunda sangat menyayangi kamu, Bunda jugatidak ingin terpisah dari kamu” Bunda semakin mempererat pelukannya, dadaku sesak dibuatnya, tapi aku tak ingin lepas dari pelukannya. Kalaupun aku harus mati lemas karena kekurangan oksigen aku tak peduli. Asal tetap dalam pelukan Bunda.

Hari ini aku lewati tanpa sekalipun menjauh dari tubuh Bunda, ketakutanku akan dipisahkan darinya, itu penyebabnya, bahkan membayangkannya saja telah membuat air mataku deras mengalir.

Pukul09.00, saat burung-burung kecil berterbangan mengitari pohon jambu lalu hinggap di dahan dan rantingnya untuk sejenak beristirahat, sebuah kendaraan memasuki halaman rumah, suara deru mesin mobil telah mengejutkan burung-burung itu lalu merekapun kembali terbang mencari dahan-dahan yang lain. Aku perhatikan semua dari balik jendela kamarku.

Aku tak juga ingin beranjak, usaha Bunda membujukku untuk mandi dan merapikan diri tak aku indahkan. Aku tak ingin bertemu siapapun. Aku tak mau!!!. Mereka bukan keluargaku. Selama ini mereka tidak pernah menemuiku. Keluargaku hanya Bunda. Mereka bukan siapa-siapa.

“Sifa, sini nak, ada tamu. Mereka ingin bertemu dengan kamu” Suara Bunda yang lembut terdengar di balik pintu kamarku. Suara lembut itu menyimpan duka, aku tahu itu. Aku masih bergeming. Ada rasa iba membiarkan bunda terus mengetuk pintu, tetapi aku takut sangat takut. Aku benci keadaan ini.

“Sifa, Kamu sayang bunda kan?, kalau ya..kamu pasti mengikuti kata-kata bunda. Ayo nak buka pintunya” Ah, Bunda mengeluarkan kalimat andalannya. Aku paling takut kalau Bunda berpikir aku tidak sayang kepadanya. Masih dengan rasa enggan, bukan hanya enggan, rasa takut, ya rasa takut. Aku akhirnya membuka pintu kamarku.

“Sifaaa….?!” Seorang perempuan muda kira-kira berusia 30 tahun, berdiri tepat di samping bunda. Di balik pintu kamarku. Ia berdiri tertegun tanpa berani lebih dekat lagi ke arahku.

“Sifa, ini mamamu” Bunda memperkenalkan perempuan muda itu kepadaku. Aku hanya memandangnya dengan tatapan aneh. Aku memang merasa aneh karena tiba-tiba saja ada seorang perempuan asing yang mengaku sebagai mamaku. Bagaimana mungkin seseorang berani mengaku sebagai seorang mama, padahal dia tidak pernah mendampingiku untuk tumbuh.

Bukan dia yang datang dengan langkah tergopoh-gopoh hanya karena aku menangis akibat seorang anak nakal mengangguku dengan memperagakan tanganku yang tidak adadengan cara melipat bagian bawah tangannya ke dalam lengan bajunya.

Bukan dia yang sibuk mengompres kepalaku akibat demam tinggi setelah seharian bermain hujan-hujanan. Bukan dia pula yang terjaga tengah malam untuk membuatkanku susu atau mengganti pakaianku yang basah akibat mengompol. Bukan..bukan dia. Aku sama sekali tidak mengenalnya.

“Sifa..ini mama nak” Perempuan itu mendekatiku lalu memeluk tubuhku, aku mematung. Tetap diam di tempatku tanpa bereaksi sedikitpun.

“Mama, ingin menjemputmu, sayang”

Kata-kata yang baru diucapkan perempuan ini membuat aku bereaksi melepaskan diri dari pelukannya lalu kembali memasuki kamarku dan menutup pintu rapat-rapat.

“Sifa…Sifa… mama minta maaf. Mama tidak bermaksud melupakanmu. Saat itu mama masih terlalu muda sayang” Sayup-sayup terdengar suara mama diantara isakannya tapi aku tak ingin mendengarnya, aku selusupkan kepalaku ke bawah bantal. Aku tidak ingin mendengar apa-apa.

Perjuanganku untuk bertahan tetap tinggal bersama Bunda akhirnya harus kalah. Bunda yang memintaku untuk tinggal bersama mama karena menurut Bunda tempat terbaik bagiku tentu di sisi mama. Secara ekonomi mama pasti mampu menjamin biaya pendidikanku. Mama adalah jalan bagiku untuk mengejar mimpiku menjadi seorang guru TK.

Demi Bunda, demi keinginannya melihat aku berhasil meraih cita-citaku, aku akhirnya pindah ke Jakarta. Tinggal bersama mama dan papaku.Mereka berdua memang mama dan papa biologisku tapi sayang mereka bukan Bunda, Bunda yang telah menanamkan cinta yang sangat dalam menancap di hatiku.

Tak ada yang salah dalam keluarga mama dan papaku. Mereka berdua memiliki segalanya. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan, mereka berdua akhirnya menikah dan sukses. Mama dan papa juga selalu bersikap baik kepadaku. Hanya saja aku belum mampu menerima itu sebagai bentuk cinta kasih yang tulus. Bagiku mereka tetap saja dua orang asing yang memisahkan aku dari Bunda.

Pernikahan mereka hingga saat ini belum dikaruniai anak seorangpun. Hal ini yang selalu mengganggu pikiranku, mereka menjemputku, anaknya yang cacat ini, hanya karena mereka tidak bisa mempunyai anak lagi. Keadaannya pasti berbeda bila saat ini mereka telah memiliki keturunan. Mereka tentu akan membiarkan si anak cacat ini tetap menjadi gadis desa yang lugu tanpa pernah tahu siapa mama dan papa kandungnya. Bagi mereka aku hanya sebuah jawaban yang dibutuhkan jika ada orang bertanya tentang anak dalam perkawinan mereka.

Satu tahun aku bertahan di sini, bertahan dengan segala kecurigaanku atas cinta yang mereka tunjukkan kepadaku, bertahan dengan rindu yang semakin menggelembung terhadap Bunda. Bertahan demi kesempatan meraih impianku menjadi seorang guru TK. Tapi hari ini aku ingin pulang. Paling tidak untuk menjenguk Bundaku yang tak pernah kutemui sejak aku berada di sini.

“Ma, aku ingin pulang”

“Pulang?. Pulang kemana?” Kernyitandahi mama terlihat nyata

“Aku ingin pulang ke rumah Bunda” Jawabku.

“Dia bukan Bundamu, Sifa, Dia bukan orang tua kandungmu. Dia hanya kerabat jauh yang kami minta tolong untuk mengasuhmu!”

“Tapi Dialah Bunda yang menyayangi Sifa selama ini, Ma”

“Itu karena kamu belum mengenal mama dan papa, orang tua kandungmu”Jawab mama dengan tegas. Jawaban yang semakin mempertegas pula bahwa mereka berbeda dengan Bunda dan ini bukan tempat yang tepat untukku.

“Aku rindu Bunda, Ma. Aku rindu menemaninya menyiangi kebun di halaman rumah, aku rindu membantunya memasak kue-kue pesanan agar bisa membelikanku pakaian yang layak , aku rinduketika dia berkata Aku bisa menjadi apapun yang aku mau meski tanganku hanya sebelah, asal aku yakin dan berusaha mewujudkannya. Aku rindu saat kami berdua harus membetulkan atap rumah yang bocor. Aku rindu Bunda ma” Aku tidak tahu dari mana aku mempunyai kekuatan untuk menjalin semua kata-kata itu, semua meluncur dengan begitu saja dari mulutku di antara isakan yang tak bisa lagi aku kendalikan.

“Sifa, mengapa kamu tak bisa juga menerima kehadiran mama sebagai orang tua kandungmu? Mengapa kamu tak juga bisa melupakan kehidupan lama kamu yang tanpa masa depan itu? Mengapa kamu tak bisa menikmati segala kelebihan yang kamu dapatsekarang?” Tiba-tiba mama meledak, mama mengucapkan itu dengan suara keras, sesuatu yang tak pernah dilakukan Bunda kepadaku.

“Ma, Bunda punya ketulusan, Bunda tidak pernah menolak aku walaupun aku cacat, Bunda selalu sayang kepadaku walau aku bukan anak kandungnya, itu yang aku inginkan, itu yang aku rindukan”

“Sifaaaa, kami juga menyayangi kamu!!!!” suara mama semakin keras

“Bukan, itu bukan sayang. Mama hanya ingin orang lain tahu bahwa mama juga mempunyai seorang anak. Hanya itu kan ma?” suarakupun ikut meninggi. Semua semakin tak terkendali. Mama berlari meninggalkanku…

****

Tok tok tok, suara ketukan di pintu kamarku.

“Ya, masuk saja…” Jawabku enggan tanpa merasa perlu menoleh dan mencari tahu siapa yang ada di balik pintu itu. Suara pintu terkuak dan langkah kaki mendekat.

Aku masih menelungkup di atas pembaringan, bersembunyi di balik selimut tebal ketika kurasakan ada tangan lembut yang mengusap kepalaku. Tangan itu kemudian melingkari punggungku, mendekapku dengan hangat. Aku masih tak peduli. Aku tetap ingin bersembunyi di balik selimut hangat ini.

“Sifa…”Detik pertama saat kudengar suara itu, aku langsung bangkit dan menghambur dalam pelukannya.

“Bunda…”

“Ya sayang…Bunda di sini. Bunda datang untuk Sifa”

“Sifa, mama dan papa tahu, sangat tahu,tidak mudah bagimu untuk menerima kenyataan bahwa kamu sebenarnya anak kami, karena selama ini kamu hanya mengenal Bundamu ini. Sekarang semua terserah kamu, kamu boleh tinggal dimanapun kamu suka. Mama dan papa akan tetap mendukungmu”

“Benar, ma…pa? Sifa boleh tetap tinggal bersama Bunda?”

Mama dan papa hanya mengangguk dengan seulas senyum tulus, senyum indah yang tak pernah aku sadari selama ini. Aku menghambur dalam pelukan mereka.

“Ma, Pa, maafkan Sifa…Suatu saat Sifa pasti akan kembali ke sini, pulang ke rumah ini. Tapi itu tidak sekarang, maafkan Sifa…”

“Ya…sayang…kapanpun kamu akan pulang. Kami selalu menunggumu”

Matahari sudah semakin tinggi, kabut tipis sisa hujan semalam telah menguap karena kehangatan pagi. Kupu-kupu kecil terbang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lainnya, semua terlihat indah.Cinta dan kasih sayang menciptakan keindahan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun