Braaak… daun pintu menutup dengan keras. Amira yang tidak menyangka Agis bisa bersikap sekasar itu, hanya berdiri mematung. Bocah Sembilan tahun itu, telah menghilang di balik pintu kamarnya.
Amira baru saja menegur Agis karena setiba di rumah Agis langsung duduk di depan televisi tanpa terlebih dahulu mengganti pakaian seragam sekolahnya bahkan tas dan sepatunya pun berserakan begitu saja.Karena teguran Amira itu, Agis membanting daun pintu kamarnya.
Dada Amira terlihat naik turun, rasa geram tengah menguasai hatinya, tetapi, dia berusaha menahan diri. Amira mensugesti dirinya sendiri dengan terus mengucapkan ‘Agis hanya bocah kecil sembilan tahun, dia belum memahami apa yang telah diperbuatnya.’
Amira kemudian meraih kursi makan yang berada di sisi kiri tempatnya berdiri saat ini. Duduk adalah salah satu cara meredakan kemarahan, itu yang teringat olehnya. Dia berhasil melakukan itu. Kini dia sudah kembalibernapas dengan tenang dan teratur.
Ini adalah hari kedua Amira berada di rumah ini. Dia dimintai tolong oleh ayah Agis, kakak iparnya, untuk menjaga Agis selama Titan, nama kakak iparnya itu, selama dua pekan bertugas di luar kota. Ibu Agis, kakak Amira, telah meninggal saat Agis baru berusia lima tahun.
Amira yang baru saja menyelesaikan studinya satu bulan yang lalu, belum memiliki kesibukan yang mengikat. Lamaran pekerjaan telah dikirimkannya ke beberapa perusahaan dan saat ini dia tengah menunggu jawaban atas lamaran-lamaran itu. Amira tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Titan, lagi pula apa salahnya menjaga keponakan sendiri, begitu pikirnya.
Amira juga berharap, kesibukannya mengurus Agis akan membantunya melupakan penghianatan Pri, lelaki yang telah dipilihnya sebagai tambatan hati. Lelaki yang dicintainya tetapi tega melukainya dengan diam-diam menjalin cinta dengan adik atasannya sendiri.
Sejak ibunya meninggal, Agis hanya hidup bersama papanya dan seorang perempuan tua, pembantu rumah tangga yang datang setiap pukul tujuh pagi dan pulang saat Titan sudah kembali berada di rumah. Sepanjang hari Agis hanya menghabiskan waktunya di depan televisi atau bermain games pada laptop atau tabletnya. Agis menjelma menjadi lelaki kecil yang keras kepala dan tak tau aturan. Agis adalah lelaki kecil yang kesepian.
Setelah merasa lebih tenang, Amira mendekati kamar Agis. Dia kemudian membuka pintu kamar yang memang tidak terkunci itu dan segera melangkah masuk. Dihampirinya keponakannya yang tengah sibuk memainkan games dari tablet 14’ yang ada di genggamannya.
“Gis, lagi main apa?” tanyanya hati-hati sambil ikut duduk di samping Agis di atas tempat tidur. Amira melirik game yang tengah dimainkan Agis, dia ingin memastikan permainan itu sesuai dengan usia Agis.
Agis tidak menanggapi pertanyaan Amira. Dia tetap asyik dengan dirinya sendiri, tetapi dia juga membiarkan Amira ikut menonton permainannya.
“Ternyata seru juga ya, main game bola.” Amira berusaha memancing perhatian Agis. Hatinya bersorak saat Agis menoleh ke arahnya, tapi pemuda kecil itu hanya menoleh sesaat dan kembali asyik dengan urusannya.
Amira masih terus bertahan. Duduk diam di samping Agis yang masih saja menganggapnya tak ada. Ketika melihat Agis memenangkan lagi permainannya, Amira bertepuk tangan.
“Ih, kamu memang jago. Eh, tau gak…mama kamu juga jago main bola, lo” Amira menggantung ceritanya. Dia berharap Agis akan bertanya untuk memenuhi keingintahuannya tentang mamanya. Usaha Amira kali ini berhasil.
“Masa Mama Agis suka main bola, yang main bola itu kan anak laki-laki” ujarnya, kali ini sambil duduk bersila menghadap keAmira. Tab yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya dibiarkannya tergeletak begitu saja di dekat bantal.
“Mama Agis memang hebat. Dia tidak hanya jago main bola, dia juga jago main basket. Apalagi soal pelajaran sekolah. Dia selalu juara.”
“Tapi, Agis kok enggak pinter kayak Mama?”
“Siapa bilang Agis enggak pinter? Kalau Agis enggak pinter, mana mungkin Agis bisa menang main game bola. Main bola itu kan tidak gampang. Harus bisa atur strategi, harus bisa mengecoh lawan. Peraturannya juga banyak, kan?”
Agis hanya melongo saja mendengarkan ucapan Amira. Yang pasti, sejak hari itu mereka begitu dekat.
@@@
“Tanteeee” Teriakan Agis mengejutkan Amira. Amira yang sudah berencana untuk pulang kembali ke rumah orang tuanya besok, tengah memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam tas ransel berwarna biru. Teriakan Agis menghentikan semua aktivitasnya. Dia menoleh ke arah pintu. Di situ Agis sudah berdiri sambil membentangkan sehelai kertas. Di sudut kanan bagian atas kertas itu terlihat sebuah angka yang berada dalam sebuah lingkaran.
“Apa itu, Gis? Coba bawa ke sini, Tante ingin lihat.” Dengan cepat Agis mendekat. Bibirnya terus menyungging senyum. Setelah dekat, dia menyerahkan kertas itu kepada Amira, tetap dengan senyum.
“Wow, nilai matematikamu delapan. Hebat Gis, kamu hebat.” Amira menggendong Agis dan berputar-putar seperti pemain bola yang berhasil mencetak goal di detik-detik terakhir.
“Tante, Tante, aku mau turun” tiba-tiba Agis berteriak dan memberontak minta diturunkan.
“Ada apa, Gis?” Amira cemas. Agis diam. Dia hanya berdiri terpaku memandangi ransel biru yang sudah terisi pakaian. Sesaat tiba-tiba hening.
“Tante mau pergi?”Suara Agis lirih, hampir tak terdengar. Dia masih menghadap ke arah tas ransel biru.
“Iya, besok” jawab Amira, sama pelannya
“Kenapa?” Agis menoleh ke arah Amira. Kini Amira dapat melihat air mata yang menggenang di mata lelaki sembilan tahun itu.
“Agis, tante harus pulang ke rumah Nenek. Kasihan Nenek kalau terlalu lama Tante tinggal”
“Nanti Agis sama siapa?”
“Papa Agis kan sudah pulang?”
“Siapa yang akan ajari Agis matematika? Agis mau pinter kayak Mama.”
Amira terdiam. Tiba-tiba dia kehilangan keahliannya berdebat. Dia merendahkan tubuhnya dan memeluk Agis. Amira tak mampu lagi menahan air matanya yang meluncur melalui wajahnya.
Titan yang melintas di depan kamar itu, diam-diam memperhatikan semua yang terjadi. Rasa bersalah menyergapnya. Selama ini dia merasa semuanya baik-baik saja. Dia bekerja keras agar mampu menyiapkan masa depan terbaik bagi anak kesayangannya. Dia lupakan kebutuhan dirinya sendiri demi Agis, tetapi ternyatahidup Agis tidak bahagia.
Titan kembali teringat pesan istrinya menjelang ajal menjemput.
“Mas, titip Agis. Jangan biarkan dia menderita. Jika suatu hari kau akan menikah lagi, pastikan wanita itu menyayangi anak kita”
Sepanjang hari ini Titan dirundung rasa gelisah. Tiba-tiba saja dia mulai berpikir tentang ibu pengganti bagi Agis. Wajah Amira berkali-kali muncul dalam bayangannya, tetapi kemudian ditepisnya. ‘Mungkinkah Amira bersedia menjadi istrinya?’
Meninggalkan Agis, bagi Amira seperti tengah menyakiti dirinya sendiri. Dia yang selama ini berusaha merebut hati Agis, membangun keyakinannya akan kasih sayang yang ditawarkannya hingga akhirnya mereka menjadi begitu dekat. Bila dia tetap pergi, sakit yang dirasakan Agis tak ubahnya seperti yang dirasakannya atas penghianatan Pri.
“Kak Ruri sangat beruntung, memiliki suami seperti Mas Titan. Sudah empat tahun sejak kepergian Kak Ruri pun, Mas Titan belum juga mencari penggantinya”
“Seandainya…” Amira tersenyum sendiri atas lamunanya yang liar tak terkendali.
@@@
“Pagi, Mira. Jadi pulang hari ini?”
“Iya.”
“Mau pulang jam berapa? Biar Mas dan Agis ikut mengantarkan. Mas juga ingin ngobrol sesuatu dengan Ibu”
“Ngobrol apa, Mas?”
“Sesuatu yang mungkin akan bisa membawa kebaikan kepada kita semua”
“Maksud, Mas?”
“Hmmm”
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H