Keinginannya sederhana, sangat sederhana. Siapa menyangka keinginan yang sederhana itu bisa mengantarkannya pada tempat ini. Sebuah ruangan berukuran dua kali empat dengan pintu yang terbuat dari terali besi. Ruangan lembab yang hanya pantas untuk para kriminal. Sel tahanan begitu kita biasa menyebutnya.
Nurdin, lelaki muda berusia delapan belas tahunan itu duduk terpaku memeluk lutut. Dia masih kaget dan bingung atas semua kejadian yang dialaminya. Berada dalam sel tahanan sungguh sesuatu yang tidak pernah diinginkannya, kenyataannya itu yang terjai.
Semua hanya bermula dari sebuah keinginan sederhana. Nurdin ingin menggembirakan Kesih, perempuan tujuh belas tahun yang sudah dipacarinya selama empat bulan.
“Din, kamu lebih suka mana, laut atau gunung?” tanya Kesih di sutau sore saat mereka tengah menikmati mie rebus di sebuah warung kecil dekat rumah Kesih.
“Aku suka laut” ujar Nurdin tanpa memalingkan wajahnya dari layar televisi yang berada di dalam rumah pemilik warung.
“Kamu lagi liat apa sih?” Kesih ikut menjulurkan lehernya agar bisa melihat apa yang tengah diperhatikan oleh Nurdin “Oh, lagi nonton bola…pantes” Kesih kembali menyendok mie rebusnya, tapi kali ini dengan wajah yang agak ditekuk. Nurdin yang belum menyadari perubahan air muka Kesih masih terus asyik dengan tontonannya.
Kicauan Kesih yang tidak lagi terdengar membuat Nurdin memalingkan wajahnya. Nurdin kaget dan merasa bersalah saat menyadari Kesih sudah tidak ada di bangkunya. “Aduh, dia pasti ngambek” batinnya.
Nurdin kemudian mencari Kesih, tidak sulit bagi Nurdin untuk menemukan kekasihnya itu, Nurdin tau kebiasaan Kesih kalau ngambek begitu. Dia pasti pergi ke rumah Tuti, sahabatnya.
Benar saja, Kesih memang berada di situ, tetapi dia tidak mau menemui Nurdin. Dia membiarkan saja Nurdin duduk sendiri di ruang tamu sementara dia bersembunyi di kamar Tuti. Sebagai tuan rumah yang baik Tuti sesekali menemui Nurdin.
“Tuti, tolong bilang ke dia. Aku minta maaf. Aku janji tidak akan begitu lagi. “ Tuti pun masuk ke dalam kamarnya untuk menyampaikan pesan Nurdin kepada Kesih. Kesih masih bergeming. Dia belum juga mau menemui Nurdin.
“Tuti, bilang ke dia, aku akan mengajaknya jalan-jalan ke laut, asalkan dia mau memaafkan”
Ternyata bujukan yang ini berhasil. Kesih keluar dari kamar Tuti.
“Bener kamu mau ngajak aku ke laut?”
“Iya, tapi nanti kalau aku punya uang”
“Ke laut mana?”
“Kamu maunya kemana? Carita? Tanjung lesung? Terserah kamu deh”
“Aku mau ke Tanjung lesung” ujar Kesih, kali ini tentu sambil diiringi senyuman yang paling manis yang selalu dirindukan oleh Nurdin.
Sudah satu minggu rencana ke laut itu belum juga terwujud.
“Jadi gak ke lautnya?” tagih Kesih.
“Jadi. Tapi belum bisa sekarang. Aku belum punya uang. Nanti saja kalau upah memperbaiki genteng kelurahan dibayar. Aku pasti ajak kamu ke laut” Nurdin berusaha meyakinkan Kesih.
“Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu pengen banget ke laut? Kalau hanya ingin berenang atau main air saja, ke danau kan juga bisa.”
Tiba-tiba Kesih mengeluarkan sebuah foto dari dompet plastik yang dia simpan di saku roknya. Dia memperlihatkan foto itu kepada Nurdin. Nurdin memperhatikan dengan seksama gambar pada foto itu, tetapi dia sama sekali tidak mengerti maksud Kesih memperlihatkannya.
“Aku ingin punya foto seperti itu. Foto berdua saat mata hari akan tenggelam. Foto seperti itu indah sekali.”
“Hanya ingin berfoto?” Nurdin ingin berteriak, tetapi dia berusaha menahan suaranya. Dia tidak mau kalau teriakannya akan membuat Kesih kembali ngambek.
“Ya enggaklah, aku ingin berlari-larian di atas pasir sambil merasakan buih ombak yang menyentuh kakiku. Atau kita akan sibuk mencari umang yang sarangnya berwarna indah. Aku juga sering membayangkan betapa indahnya saat kita berjalan berdua sambil bergandengan tangan di bawah langit yang berwarna jingga”
Nurdin hanya ternganga dengan semua hayalan yang dimiliki Kesih. Selama ini dia tidak pernah membayangkan hal-hal aneh seperti itu. Bagi Nurdin berdua dengan Kesih saja sudah memberinya kebahagiaan.
Semakin hari Kesih semakin sering menagih janjinya sedangkan upah yang dijanjikan oleh Pak lurah belum juga dia terima karena Pak lurah masih berada di luar kota.
Nurdin dan Kesih akhirnya membuat sebuah rencana. Menurut perhitungan mereka, rencana itu pasti bisa mewujudkan mimpi mereka pergi ke laut. Mereka akan menanam cabe yang masa panennya tidak terlalu lama.
Nurdin dan Kesih lalu pergi ke penyuluh pertanian. Di sana memang tersedia bibit cabe gratis. Mereka juga mengumpulkan wadah-wadah bekas yang bisa difungsikan sebagai pot. Tiga puluh pot berisi bibit pohon cabe pun kini berjejer di belakang rumah Nurdin.
Setiap hari mereka berdua dengan telaten merawat tumbuhan cabe itu hingga akhirnya buah dari kerja itu memperlihatkan hasil. Putik-putik cabe mulai bermunculan.
“Seminggu lagi kita sudah bisa panen, kan?” tanya Kesih antusias
“Mudah-mudahan. Setelat-telatnya sepuluh hari lagi” jawab Nurdin.
“Nanti cabenya kita jual kemana?”
“Kita bungkus plastik saja lalu kita jual ke para tetangga dan ke komplek perumahan itu supaya dapat uangnya lebih banyak”
“Sebentar lagi kita akan ke laut” Kesih tersenyum dengan pikiran menerawang. Dia seperti melihat laut dan mendengar deburan ombak.
“Sudah jangan menghayal lagi, tidak lama lagi kita akan pergi ke laut.” Nurdin menghentikan lamunan Kesih.
@@@
Pagi-pagi sekali Nurdin sudah terbangun dan segera menuju ke belakang rumahnya. Hari ini dia akan melakukan panen pertamanya. Dadanya berdebar-debar membayangkan uang yang akan dia peroleh. Cabenya memang berbuah lebat. Berita melambungnya harga cabe beberapa hari terakhir ini membuat dia semakin bersemangat.
Nurdian tak bisa mempercayai pandangannya. Di hadapannya, dia tidak lagi melihat buah cabe yang kemarin berwarna merah menggairahkan. Bahkan cabe-cabe muda yang masih berwarna hijau pun tak bersisa.
Nurdin berdiri kaku. Dia tidak mampu membayangkan wajah Kesih yang kecewa. Tangannya mengepal menahan geram dan amarah, sejurus kemudian dia sudah berjalan menuju pasar. Dia bertekad menemukan si pencuri cabe-cabenya.
Cabe-cabe di pasar itu bentuknya semua sama. Yang masak berwarna merah dan yang muda berwarna hijau. Nurdin tidak tau yang mana cabe yang dicuri darinya.
Dengan kemarahan yang belum mereda Nurdin melangkah pulang. Di perjalanan dia berpapasan dengan Pak Lurah yang hendak berangkat ke kantor.
“Pak, saya mau minta upah saya” ucapnya datar
“Apa-apaan kamu, minta upah di tengah jalan. Jadi orang tuh harus tau sopan santun. Saya pasti bayar upah kamu.” Pak Lurah yang merasa tersinggung dengan cara Nurdin berbicara kepadanya, terus melontarkan kata-kata yang membuat kepala Nurdin semakin panas.
Kemarahan yang sedari tadi sudah membakar diri Nurdin membuat darahnya semakin menggelegak. Tiba-tiba tinjunya yang sedari tadi sudah terkepal itu dia hantamkan ke wajah Pa Lurah. Pak Lurah yang tidak siap dengan serangan tiba-tiba itu terhuyung dan terjerembab ke dalam got kepalanya terbentur lalu pinsan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H