Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

ECR#5 Wellcome In Paradise

24 Oktober 2012   12:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:26 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

gambar dari apasih.com

Lelah, aku benar-benar lelah menghadapi berbagai masalah yang datang menghujaniku dengan beruntun. Yang menjadi semakin berat karena aku harus menghadapinya sendiri. Aku tidak ingin anak-anakku tahu betapa hatiku begitu ciut dengan semua persolan ini karena bagiku kebahagiaan mereka adalah segalanya.

Semua bermula saat aku memutuskan untuk tinggal di Desa ini mungkin keputusan yang egois di mata suamiku.

Kepindahanku ke sini awalnya hanya sementara, hanya untuk menghindari banjir yang melanda tempat tinggal kami yang lama, tapi kemudian di siniaku menemukan ketentraman. Di desa ini aku temukan kedamaian, persahabatan yang tulus dalam cinta sederhana yang menawan.

Egoiskah aku di mata suamiku?… ya!. Dia tetap berharap aku dan kedua anakku, Ranti dan Jizan kembali ke kehidupan kami yang lama, sementara sebenarnya kedua anakku itulah yang memintaku untuk tetap berada di sini, di desa ini. Sedangkan El, saat itu masih lebih memilih berkumpul dengan teman-temannya entah di mana.

Protes suamiku diwujudkannya dengan tidak pernah mengunjungiku di desa.

SejakEl menyusul kami ke desa yang akhirnya memutuskan untuk menetap bersamaku menjadi lelaki satu-satunya di rumah, sangat meringankan bebanku. Apalagi El saat ini sangat berbeda dengan El yang dulu kutinggal di kota. El saat ini justru menjadi kebanggaanku. Tanpa sepengetahuanku dia telah mendalami agama dan menjelma menjadi seorang pemuda santri, walau sebagai anak muda sifat isengnya masih ada.

Bukan kehidupan namanya, jika semuanya selalu berjalan sesuai dengan yang dimaui manusia. Pada suatu ketika…

Ma, aku mau menikah” itulah kalimat sederhana yang diucapkan El.

“Saya sengaja mengatakan hal ini di sini di atas sajadah mama, karena di sinilah tempat terbaik, tempat yang membuat mama begitu dekat dengan-Nya” lanjut El kemudian.

Permintaan sederhana dan merupakan kodrat orang tua untuk menghadapinya. Tiba-tiba kalimat sederhanaitu menghadirkan banyak masalah. Ada ketidakrelaan mengizinkan El mendahului kakaknya Ranti, tapi bukankah tugas orang tua adalah menikahkan anaknya ketika jodohnya sudah datang?

Persoalan semakin melukaiku ketika ternyata apa yang aku lakukan untuk menghindari terlukanya Ranti, justru menyebabkan Hans memutuskan untuk meninggalkan Ranti. Hans merelakan ranti

Rasa bersalah yang menderaku, semakin membuat aku merasa gagal menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Harapan yang tumbuh di hati Ranti membuat dia masih bermimpi tentang masih ada hari esok, walau kemudian kenyataan yang dia hadapi tak seindah itu. Untunglah, akhirnya Rantidengan tegar mengatakan kepadaku Air mata ini harus kuhentikan. Ketegaran Ranti adalah pelipur dukaku.

Saat ini, pernikahan El sudah ada diambang mata. Aku mulai gamang dengan segala persiapan yang harus aku lakukan. Aku sudah mencoba menghubungi ayahnya, tetapi hingga hari ini, lelaki yang aku cintai itu belum juga mengubah keputusannya “Tidak akan mengunjungiku di desa”

“Ayah masih sibuk” Selalu kalimat singkat itu yang aku jadikan alasan setiap anak-anakku menanyakan ayahnya yang belum juga pulang. Alasan bodoh yang pasti tidak masuk akal, apalagi anak-anakku sudah dewasa bahkan Jizan sibungsu saja sudah menginjak remaja.

Malam telah hampir sampai ke ujungnya, aku yang masih duduk di atas sajadahku, terus berkeluh kesah kepadaNya. Hanya ini yang dapat aku lakukan dalam setiap kesedihanku.

“Assalamualaikum, ma” pasti El, Anakku yang satu ini memang sangat peka pada setiap kesedihanku. Dia selalu datang menemaniku di ujung malam, walau hanya untuk duduk menyendarkan kepalanya di bahuku.

“Wa’alaikum salam, masuk nak”

El melangkah memasuki kamarku, seperti biasanya, dia lalu duduk bersila tepat disampingku.

“Kamu sudah solat, El” tanyaku

“Sudah. Ma” kembali hening, aku melanjutkan dialogku dengan-Nya hingga akhirnya kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku seraya berucap amin.

“Ma, mama tidak usah terlalu merisaukan pernikahan saya” El kembali buka suara.

“Maksudmu apa, nak?”

“Saya tidak mau pernikahan ini menjadi beban untuk mama, saya ingin kebahagiaan saya justru menjadi kebahagiaan juga untuk mama”

“Mama bahagia…sungguh!, apalagi calon istrimu begitu baik, santun, diajuga gadis yang soleh, alasan apa yang bisa membuat mama tidak bahagia?. Allah menyayangimu El, Dia kirimkan wanita terbaik untukmu”

“Lalu apa yang membuat mama menangis?”

Aku terdiam, aku tidak boleh berbohong lagi hanya untuk menyembunyikan kedukaanku dihadapannya. El sudah dewasa. Tapi tidakkah masalah ini nantinya akanmerisaukannya?

“Ma, kalau mama khawatir tentang biaya pernikahanku. Aku dan Zaa sudah sepakat menikah secara sederhana saja, ini bukan saja karena biaya tetapi ini prinsip kami, ma”

Bukan. Bukan hanya itu nak, mama sedih karena ayahmu belum juga memberi kepastian akan hadir atau tidak pada pernikahanmu nanti. Batinku.

“Ya, El…, mama sudah tahu itu”

“Lalu apa lagi ma?” El terus mendesakku

Aku kembali diam sejenak hingga akhirnya kuputuskan untuk mengungkapkan kenyataan yang harus kami hadapi, pernikahannya tidak akan dihadiri oleh ayahnya.

“El, sebenarnya………”

Tok..tok..tok…..Suara ketukan keras di pintu. Aku dan El tersentak. Serempak kami melirik jam dinding yang menggantung di kamarku, masih pukul 04.00 dini hari, belum lagi azan subuh.

“Assalamualaikum”Aku dan El saling pandang.

“Assalamualaikum” Suara itu terdengar semakin keras

“Wa’alikum salam” Aku dan El bergegas menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu, El menahan tanganku yang hendak langsung memutar kunci , El mengintip ke luar melalui kain jendela yang disingkapkannya sedikit. Tiba-tiba wajahnya menegang,serta merta disingkirkannya tanganku yang masih menempel di handel pintu. Dengan gugup Dia memutar kunciuntuk membuka pintu. Aku hanya berdiri bingung dengan semua tingkahnya ini…

“Jreng…jreng…jreng…….” Ketika pintu terbuka El bergaya seorang penjaga pintu istana menyilakan ratunya memasuki singasana.

“Inilah pencinta yang tengah mama tunggu”

Sebuah sosok, tidak terlalu gemuk juga tidak tidak terlalu tinggi.Tidak terlalu pendek juga tidak terlalu kurus dengan kaca matatebal yang menggantung di wajahnya berdiri tepat di hadapanku.

Tak ada kata yang dapat aku ucapkan, aku hanya menghambur dalam pelukannya.

"Wellcome in paradise, Ayah!!!" teriak El, juga Ranti dan Jizan yang tiba-tiba saja muncul dari dalam rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun