Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

ECR#5 "Tak Perlu Ada yang Terluka Lagi"

11 September 2012   00:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:39 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Matahari baru saja terbenam penuh di ufuk barat suara adzan yang dikumdangkan El di mushola terdengar sangat menyejukkan hatiku. Aku dan Jizan anak bungsuku segera menunaikan solat magrib. Setelah menutupnya dengan do’a-do’a panjang yang merupakan wujud kepasrahan dan ketidak berdayaan di hadapan-Nya akupun menemani si bungsu untuk belajar di ruang tamu.

“Assalamualaikum…” suara merdu yang belum aku kenali milik siapa terdengar berbarengan dengan ketukan pelan di depan pintu.

“Waalaikumsalam” jawabku seraya bangkit dari kursi dan berjalan ke arah pintu untuk mengetahui pemilik suara merdu itu.

“Selamat malam, Bunda. Maaf Aya mengganggu ya?” Aya dengan senyuman lembut dan cara bicara yang sopan menyapaku.

“Oh Aya…ayo masuk, tidak mengganggu kok, malah bunda senangAya singgah ke sini” Aku menyilakan Aya masuk dan duduk bersamaku di ruang tamu, sementara Jizan setelah mengambilkan air minum dan setoples keripik yang tadi sempat aku beli di kios sekar, melanjutkan belajar di ruang keluarga

“Ranti sama El kemana bunda” Aya bertanya sambil matanya tertuju ke ruang dalam mencari-cari sosok dua anakku yang belum dilihatnya.

“Kalau El, masih di mushola nanti kalau sudah solat isya baru pulang, Ranti sebelum magrib tadi dijemput Jingga katanyamau menginap lagi di sana, kan Ibay suami Jingga belum pulang dari luar kota” Aya hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasanku.

“Eh iya, Aya ada apa tumben ke sini?”

“Sebetulnya gak ada apa-apa Bun, tadi pas lewat di depan tiba-tiba saja ada ide ingin mampir” jawab Aya sambil memperbaiki posisi duduknya. Dari cara bicaranya, cara duduknya aku melihat ada kegelisahan di wajahnya tapi tidak enak kalau aku menanyakan hal itu. Setelah bincang-bincang yang tidak jelas dari mana dan kemana arahnya akhirnya percakapan kami menjadi serius.

“Bunda, sebetulnya Aya ingin cerita sesuatu pada bunda, Bunda kan tahu di sini Aya hanya hidup sendiri, jadi Aya bingung harus bercerita pada siapa, Bunda tidak keberatan kan?” wajah Aya memelas.

“Tentu saja, aya, kamu boleh ceritakan apa saja pada Bunda, anggap saja Bunda sebagai pengganti orang tuamu” ujarku mengiyakan.

“Begini Bund, Bunda kan tahu selama ini Aya salah satu gadis yang juga jatuh cinta sama Aa Kades Hans, walaupun Aya juga tahu ada kedekatan antara Ranti dan Hans, tapi Aya tidak mampu mengendalikan rasa yang begitu dalam di hati Aya” Aya mengehentikan ucapannya menatapku lebih dalam, mencoba mengetahui perubahan air mukaku, aku pura-pura tidak tahu itu.

“Lalu apa masalahnya? Cinta itu memang bukan sesuatu yang bisa di atur5W dan H-nya, dia akan datang sekehendaknya dengan cara seperti yang dia mau” aku berusaha tetap tenang di depan Aya, walaupun ada rasa cemburu di hatiku, cemburu untuk rasa yang dimiliki anakku.

“Itulah masalahnya, Bunda, Aya ragu tentang perasaan Hanskepada Aya, lagi pula Aya kan juga tahu tentang hubungan Hans dan Ranti masih mengambang. Aya bermaksud mematikan rasa itu dengan cara Aya sendiri, tapi tiba-tiba Hans muncul menawarkan sesuatu yang Aya tidak pernah duga sebelumnya, Hans meminta Aya menghilangkan keraguan itu” Aya bertutur dengan lancarnya sedangkan hatiku mulai merasakan luka, tapi aku tetap berusaha tenang. Sebagai orang tua aku harus bijak dan adil melihat setiap persoalan.

“Maksud Aya, Aya akan mengubah keputusan yang sudah Aya buay dan memelihara dan mewujudkan cinta itu?” tanyaku dengan tetap terlihat tenang.

“Ya, Bunda. Menurut Bunda bagaimana?” penuh harap Aya menatapku dan ini bagian tersulit yang harus aku lakukan.

“Aya, jika cinta diantara kalian memang ada dan Aya yakin akan hal itu, maka wujudkanlah. Melawan rasa cinta yang ada di hati itu tidak mudah Aya” Aku menghentikan ucapanku mencoba melegakan kembali rongga dadaku yang aku rasakan begitu penuh dengan tarikan nafas panjang.

“Satu hal saja yang bunda ingin ingatkan, Hans itu hanya raganya saja yang bebas tetapi hatinya telah terperangkap dan terkubur bersama cinta lamanya NATASYA”

Aya hanya diam, Aku juga diam. Aku biarkan dia berpikir dengan tenang, Aya sudah dewasa dia tentu tahu apa yang terbaik bagi dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun