“Amin…” kututup do’ausai solat subuhini sambil mengusapkan kedua telapak tanganku ke wajah, Ranti dan Jizan juga melakukan hal yang sama kemudian merekamenghampiriku lalu mencium tanganku, sebuah kebiasaan yang tidak pernah aku minta tetapi mereka selalu melakukannya setiap usai solat berjamaah. Ranti bilang itu adalah symbol bakti dan hormat mereka kepadaku.
Usai merapikan mukena kami melanjutkan aktivitas masing-masing. Jizan kembali ke kamar mempersiapkan keperluan sekolah, Ranti langsung ke dapur menyiapkan sarapan, dan aku berjalan menuju ruang tamu. Di ruangan mungil itu kutemulamlaptop El masih dalam keadaan terbuka di atas meja, di sampingnya segelas kopi hitam yang baru berkurang sedikit juga secangkir penuh tehmanis, El masih di mushola.
Kuhampiri meja itu, selembar kertas juga tergeletak di sana “Mama ini teh manis untuk mama”. Tiba-tiba keharuan menyelusup ke dalam hatiku, “Anak-anaku kalian selalu berhasil membuat mama bahagia”
“Kurang manis ya , Ma?” El sudah berada disampingku disaat aku menyeruput nimatnya kehangatan teh manis itu.
“Eh kamu, pas kok” ku seruput lagi, yang ini untuk meyakinkan anakku bahwa aku suka dan aku bahagia.
“Ma, mama sudah bilang sama Sekar?”
Tiba-tiba detak jantungku berdetak lebih cepat bahkan bunyinya kurasaka sebagai gemuruh yang memekakkan telingaku sendiri. Aku tidak segera menjawab pertanyaan El. Cukup lama aku terdiam dan El membiarkan saja aku seperti itu, El pastinya sangat mengerti bahwa ini sangat sulit bagiku.
“Mama bingung El, bagaimana cara menyampaikan hal ini kepada Sekar” jawabku pada akhirnya
“Benar sih Ma, tapi kalau akhirnya Sekar tahu dari orang lain dan dengan cara yang tidak bijak, bagaimana nantinyama?” Kata-kata El ada benarnya, ini bahkan dapat membuat Sekar berprasangka buruk terhadap aku mapun keluargaku yang lain.
“El, yang membuat mama tidak tega itu karenaSekarsedang hamil, orang hamil itu sangat sensitive, El. Mama khawatir keterkejutannya akan berakibat buruk pada kehamilannya”
El tercenung mendengar penjelasanku kebingunganku menular kepadanya.
Beberapa bulan yang lalu di awal-awal pernikahan mereka, ketika bahagia sedang mereka nikmati bersama, Chevil, suami Sekarberpamitan untuk mengikuti konvensi pengusaha ketoprak tingkat Nasional. Minggu-minggu pertama Dia masih sering menghubungi, mengungkapkan segala rindu yang dirasakannya , rindu…tentu saja, karena mereka sejoli yang baru saja dijodohkan oleh Tuhan. Sekar selalu bahagia menceritakan semua itu kepadaku di sela-sela kesibukan kami di pasar.
Tapi kemudian keadaan tiba-tiba berubah, Chevil berhenti menghungi istrinya, padaha saat itu Sekar mulai merasakan ada kehidupan baru dalam rahimnya. Seharusnya dia bahagai dengan kehadiran roh baru itu, tapi yang terjadi sebaliknya dia kebingungan mugkin juga ketakutan, Sekar di desa hanya hidup berdua dengan adiknya, dia cemas.
Dua minggu yang lalu, El bertemu seseorang yang satu provesi denganChevil, dia juga mengikuti koveensi itu, dari seseorang itu El tahu apa yang terjadi denga Chevil. El menceritakan semua yang diketahuinya kepadaku, sebagai sahabatwalaupun sering juga berdebat, El ingin menolong Sekar.tapi sampai saat ini kami belum tahu cara terbaik melakukannya.
“Kasian si Moyang ya mam” ucapnya lirih
“Moyang?, Moyangnya siapa ?”
“Eh, maksud El, Sekar” El nyengir
“Oh”
Pagi telah beranjak menuju siang, Ketiga anakku telah berangkat semuanya menjalani aktivitasnya masing-masing. Rumah menjadi sepi akhirnya aku punya banyak kesempatan untuk merenungkan cara terbaik berbicara dengan Sekar.Telepon genggamku bordering.
“Assalamualaikum, Bunda” Suara Sekar di seberang sana, pucuk dicinta ulam tiba pikirku.
“Bunda, kok belum ke kios?” lanjutnya kemudian
“Waalaikum salam, hari ini bunda ingin istirahat dulu, El juga sedang tidak ada kesibukan jadi biar dia saja yang di kios”
“Bunda, kalau gitu Sekar mau main ke rumah bunda ya, Bun?”
“Kios kripiknya bagaimana?”
“Saya gak jadibuka, Bund. Saya ingin ngobrol sama Bunda”
“Baiklah kalau begitu, Bunda tunggu”
Klik, percakapan kami berakhir. “Ini saatnya” pikirku.
Aku menunggu Sekar di teras sambil meneruskan membaca novel romantisnya Barbara Cartlan,oleh-oleh dari Ranti saat belanja kembang di kota.
“Assalamualaikum, Bunda” Sekarmemasuki halaman rumahku, berjalan dengan hati-hati sebagaimana yang dilakukan wanita hamil.
“Waalaikum salam, Ayo ke sini Sekar, kita ngobrol di sini saja ya, biar lebih santay” kusambut perempuan muda itu dengan wajah yang kuupayakan sebiasa mungkinwalau gemuruh di dadaku kembali kurasakan.
Jepun ini sekarang terlihat lebih kurus dan lebih kuyu dari biasanya, keceriaan dan jawaban ceplas ceplos yang menjadi cirinya tiba-tiba saja hilang.
Tidak butuh waktu terlalu lama untuk berbasa-basi karena Sekarsudah membawa percakapan ke tujuannya.
“Bunda, Saya bingung, sampai hari ini bang Chevil belum juga ada beritanya, saya kecewa karena dia sama sekali tidak menghubungi saya. Seandainya saya tahu apa yang terjadi mungkin saya tidak sekecewa ini” suara Sekar begitu lirih, aku dapat merasaan sakit yang sedang menekan jiwanya.
“Apalagi sekarang saya mengandung anaknya, Bunda. Bagaimana saya menjelaskan semua ini kepadanya kelak ketika dia menyadari tidak ada sosok ayah dalam hidupnya, Kasian anak ini Bunda” Sekar tertunduk sambil mengusap-usap perutnya, butir-butir bening meluncurdari bola matanya satu persatu tanpa dapat dikendalikan.
“Bunda, saya juga takut. Siapa yang akan mendampingi saya pada saat melahirkan nanti” Kali ini tidak hanya butir bening itu yang menunjukkan kesedihannya, isaknya pun semakin terdengar jelas.
“Sekar, tidak perlu cemas untuk semua itu, karena kamu punya …kami, kami semua yang menyayangi dan peduli terhadapmu, kami yang akan mendampingimu menghadapi semuanya”Aku mencoba menenangkannya dengan mengingatkan bahwa dia tidak benar-banar sendiri, ada kami warga Desa Rangkat yangselalu penuh cinta.
“Sekar, boleh bunda bertanya, kalau boleh, kamu jawab dengan jujur ya” ini saatnya pikirku.
“Tentu, Bunda. Bunda mau bertanya tentang apa?”
“Masihkah kau berharap Chevil kembali?”
Sekar tidak segera menjawab, terdengar helaan nafasnya yang berat.
“Bunda, sebagai istri saya ingin suami saya pulang, tetapi dengan semua yang terjadi ini saya merasa suami saya telah mempermainkan hati saya. Saya juga marah, Bunda”
Suasana kembali hening. Aku kembali kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya kepada Sekar.
“Bunda, sebenarnya yang saya butuhkan saat ini adalah kabar. Dari kabar itu saya baru bisa menentukan sikap apa yang harus saya ambil” begitu tegas kalimat itu.
“Termasuk kabar terburuk sekalipun?”
“Ya!”
“Baiklah, sekarang dengarkan baik-baik” Sekar menatapku penuh selidik, tapi aku abaikan saja.
“Sudah beberapa hari ini, Bunda dan El mengetahui kabar tentang Chevil” aku kembali diam untuk menunggu reaksi Sekar, Sekar masih duduk dengan tenang. Aku melanjutkan
“Di Konvensiyang diikutinya itu, Chevil telah bertemu dengan seseorang yang merupakan cinta pertamanya, pertemuan yang terus menerus selama satu bulantelah membuat cinta lama itu bersemi lagi. Sebenarnya Chevil juga sudah berusaha mengelak makanya di awal-awal dia masih tetap menghubungimu, tetapi cintadan kesempatan yang ada telah membuatnya kalah. Di akhir acara mereka memutuskan untuk menikah” Mata bulat Sekar semakin melebar, aku mulai waspada. Ya Tuhan lindungi Jepun ini.Beberapa saat kami kembali terjebak dalam diam, walau kemudian kulihat Sekar kembali tenang.
“Sekar, Bunda yakin kamu pasti kuatwalaupun kenyataan ini memang pahit. Satu hal lagi, kamu juga harus ingat kamu tidak sendiri, ada kami yang menyayangimu juga menyayangicalon bayimu itu”
“Tapi Bunda, mengapa Bang Chevil tega melakukan ini? Bukankah dulu dia yang berusaha membuat Jepun itu tetap hidup dan berbunga?”
“Sekar, inilah kehidupan, banyak hal yang sudah kita persiapkan dan kita harapkan akan berbuah manis, tapi ternyata yang kita terima hanya kepahitan, dan itu adalah ujian. Ujian hanya diberikan kepada orang-orang yang siap memasukinya, Jika tidak berani menghadapi ujian maka manusia juga tidak perlu menumbuhkan banyak harap dalam hatinya”
“Apa yang harus saya lakukan sekarang, Bunda?”
“Bersabar dan pasrah, Allah pasti akan segera memperlihatkan hikmah atas semua ini”
Sekar masih diam tetapi anggukan kecil yang kulihat cukup sebagai isyarat akan ketegarannya.
Akhirnyalepas sudah semua beban yang menyesakkanku beberapa hari ini.Jepun ini memang tidak mudah layuAku bangga kepadanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H