Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(ECR #5) Lagi-lagi Ada Perselingkuhan

18 Maret 2013   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:33 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyusuri jalan setapak sepulang dari kios, membuat bunda yety mandi keringat. Hari ini dia pulang agak cepat karena kios sedang sepi pembeli. Meskiagak kecewa tetapi dia dapat memahami keadaan ini, Mana mungkin masyarakat masih mau membuang-buang uang hanya untuk pulsa yang merupakan kebutuhan sekunder bahkan bisa juga tersier, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan primer saja sekarang sudah berat rasanya. Naiknya harga bawang dan beberapa kawannya sudah cukup menjadi masalah.

Bunda Yety melenggang sendiri dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya.Hari sudah memasuki sore, tapi matahari masih terasa menyengat.

Ketika melintasi tepian danau yang airnya terlihat jernih, Bunda Yety tergoda untuk menyentuh permukaanya. Keciprat air danau yang disentuhnyamembuat seekor kupu-kupuyang terbang di atas permukaan air itupergi menjauh. Sementara permukaan air yang tersentuh membentuk riak kecil yang susul menyusul, berupa lingkaran yang semakin lama semakin besar.

Rasa panas yang tadi dirasakannya kini telah menghilang.Gerakan udara yang berpindah akibatperbedaan tekanan lalu menyentuh dedaunan, menciptakan hembusan angin yang menyejukkan.

Bunda Yety masih asyik menikmati keindahan danau, sudah lama ini tidak dilakukanny karena biasanya dia pulang dijemput oleh El, anak lelakinya yang sekarang sudah memiliki kios sendiri di dekat terminal. Karena menutup toko lebih awal maka El belum datang untuk menjemput.

Setelah puas merasai dingin dan sejuknya air danau, Dia lalududuk di salah satu bangku panjang yang berada tidak jauh dari tempatnya semula. Senyumnya mengembang ketika melihatseorang perempuan muda yang duduk berdampingan dengan seorang priadi bangku lain yangberjarak sekitar lima meter dari tempatnya. Dia mengenali wajah perempuan muda itu, tetapi laki-laki disebelahnya agak sulit dikenali karena terhalang oleh tubuh si wanita. Sepertinya perempuan muda yang dilihatnya tidak menyadari kehadirannya. Perempuan dan laki-laki itu terus asyik bercengkerama.

Samar-samar sampai ke telinganya percakapan dua orang tersebut

“Mas, kamu tidak akan menghianati aku kan?”

“Aku berjanji, aku akan selalu menyayangi kamu”

“Mas, yakin?”

“Sangat yakin!”

“Bagaimana seandainya istri mas tahu? Apakah mas akan tetap mencintai aku?” Ketika mendengar kalimat ini, Bunda Yety semakin mempertajam pendengarannya. Naluri ingin tahunya tak dapat lagi dibendung. Sambil berusaha terus mendengar percakapan merekadia juga mencoba untuk mengenali wajah laki-laki itu, tetapi tidak berhasil, karena kaca mata serta topi yang dikenakan laki-laki itu semakin menyamarkan identitasnya.

“Mahar, jangan kau tanyai aku dengan pertanyaan sulit itu. Aku mencintai kamu. Kamu harus mempercayai hal itu. Soal istriku? Kamu harus tahu, sampai saat ini aku masih mencintainya,karena dialah ibu dari anakku”

“Jadi apa artinya aku untukmu?”

“Kamu adalah rembulan yang bersinar dikala matahari tenggelam. Aku takut pada gelap dan kau menyelamatkanku’’

“Maksudnya aku hanya cadangan?”

“Bukan….bukan begitu! Kamu adalah penyempurna hidupku” Keadaan tiba-tiba hening. Mereka menghentikan percakapan saat menyadari ada orang lain yang dapat mendengar suara mereka. Dengan tergesa Mahar dan laki-laki disampingnya melangkah menjauh.

Bunda Yety kembali sendiri. Pikirannya sibuk menduga-duga siapa sebenarnya laki-laki yang bersama Mahar tadi,Kalau menilik pakaian seragam yang dikenakannya, seperti seragam kantor desa, “Pak Kades, kah?” . Ditepisnya pikiran itu. “Rasanya tidak mungkin, mana berani Pak Kades main api, istrinya kan terkenal sangat protektif”

“Jika bukan pak Kades, siapa lagi yang punya pakaian seperti itu?” Berbagai dugaan mendesak-desak di pikirannya.

Sayup-sayup terdengar suara anak-anak yang tengah membacakan salawat nabi di musola Desa. Hari semakin gelap. Bunda Yety pun kembali mengayunkan langkahnya meninggalkan Danau Rangkat yang sejukmenuju ke kebahagiaanya…keluarga yang dicintainya.

Klik logo di atas untuk menuju Desa Kami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun