Sumber gambar :Gambaronline.com
Aliya dan Tante Hani tengah menikmati makan malam, berdua saja. Sudah lama hal ini tidak mereka lakukan, padahal sebelum Aliya menikah dengan Dion, mereka selalu melakukan semuanya berdua.
Wajah bahagia Tante Hani tak disembunyikannya. Senyum yang selalu tersungging memperjelas hal itu. Tante Hani memang sangat menyayangi Aliya. Anak yang diasuh dan dibesarkannya dengan kasih sayang tulus. Berada di dekat Aliya saat ini, bagi Tante Hani seperti utang rindu yang terlunasi.
“Kalian selama ini baik-baik saja, kan? Maaf Tante tidak bisa menemanimu selamanya.”
“Kami baik-baik saja Tante. Hanya saja aku selalu kangen makan berdua dengan Tante.” Tante Hani tersenyum mendengar penuturan Aliya. Ternyata mereka berdua memang saling merindukan.
“Oh,ya, yang tadi itu Omnya Dion yang tinggal di mana? Saat pernikahan kalian dia tidak ada, kan? Tante belum pernah melihat dia…”
“Om, Doni memang tidak hadir. Selama ini dia tinggal di Papua, itu yang aku dengar dari Dion.”
Percakapn di meja makan itu tidak ikut berakhir saat mereka berdua pindah ke teras belakang. Mereka berdua tak pernah kehabisan bahan obrolan bahkan ketika telah berada di atas pembaringan saat hendak beristirahat malam.
Sebetulnya ada yang membuat Tante Hani cemas, yaitu ketika dia merasakan ada kesedihan yang disimpan oleh Aliya. Dia sangat ingin melepaskan Aliya dari kesedihannya, tetapi dia tidak tahu dengan cara apa harus melakukannya.
Menemukan Sumi bukanlah hal mudah. Jakarta sangat luas apalagi dia juga tidak yakin Sumi ada di Jakarta atau di kota lain. Sumi bagi mereka seperti sosok misterius yang datang dan menghilang begitu saja.
“Tante, Tante sudah dapat kabar tentang Bu Sumi?” sesuatu yang sedari tadi tersimpan itu pun akhirnya keluar juga.
“Oh, Sumi. Belum, belum…Maaf…Tante belum dapat kabar tentang dia”
“Aku ingin sekali bertemu dia. Aku ingin dia menjelaskan alasannya meninggalkan aku.” Aliya tidak dapat menyembunyikan rasa kecewa dan amarahnya setiap kali mengingat bahwa ibu yang telah melahirkannya telah meninggalkannya begitu saja. Getar suaranya menyiratkan hal itu.
“Aliya, ada kalanya orang terpaksa melakukan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Banyak kondisi yang memengaruhi tindakan seseorang. Tante yakin, ibumu sangat menyayangimu. Jika bukan karena sayang, untuk apa dia datang di hari pernikahanmu. Dia memenuhi janjinya. “
Keadaan tiba-tiba hening. Aliya tidak berkata apa pun. Yang terdengar hanya helaan napasnya. Sebutir air mata mengalir perlahan melewati wajahnya. Tante Hani memeluknya.
“Sabar, ya. Aliya. Kita pasti bisa menemukannya.”
Malam semakin larut. Kedua perempuan itu tidak lagi berkata-kata. Keduanya tengah berusaha untuk memejamkan mata dan melupakan sejenak segala kepahitan yang tengah mengganggu kehidupan mereka.
@@@
Aliya tengah merapikan tas pakaiannya ketika kendaraan yang dikemudikan oleh Dion memasuki halaman rumah Tante Hani. Aliya menjulurkan kepalanya ke arah jendela yang menghadap pekarangan. Dia hanya ingin meyakinkan diri bahwa pengenalannya terhadap suara mobil Dion tidak salah.
Aliya memperhatikan Dion yang melangkah menuju pintu utama rumah besar itu diikuti oleh Doni beberapa langkah di belakangnya. Dia segera memasukkan baju terakhir yang masih tergeletak di atas tempat tidur ke dalam tas pakaiannya kemudian melangkah menuju ruang depan untuk menemui Dion dan Doni.
Kini mereka bertiga telah berada di ruang tamu berukuran besar yang ditata dengan gaya eropa. Sofa besar dan lukisan menara eifel yang tergantung anggun di salah satu dinding terlihat kompak. Ruangan ini menunjukkan bahwa pemiliknya berselera tinggi.
“Bagaimana kabar, Nenek?” tanya Aliya sambil menghenyakkan tubuhnya di atas sofa di samping Dion. Doni duduk di seberangnya, tepat di hadapannya.
“Baik, dia menanyakanmu. Dia kecewa karena kamu tidak ikut ke Bandung.”
“Terus kamu bilang apa ke Nenek?”
“Aku bilang saja kamu sedang ada urusan dengan Tante Hani”
“Terima kasih, ya, Dion. Sebetulnya aku juga kangen sama Nenek, tapi saat ini aku memerlukan Tante Hani.”
Dion melingkarkan lengannya ke tubuh Aliya dan merengkuhnya sehingga tubuh Aliya tersandar ke bahunya.
“Tidak apa-apa, Ay. Aku mengerti.”
Doni hanya bisa terpaku mendengar percakapan dua orang yang ada di hadapannya. Kesedihan yang terpancar dari mata Aliya membuat hatinya menangis. Dia ingin memeluk perempuan muda yang ada di hadapannya ini. Dia ingin membantunya mengakhiri penderitaannya. Tapi, Doni diliputi rasa khawatir. Dia khawatir akan semakin memperparah luka di hati Aliya.
@@@
Doni tidak bisa memejamkan matanya. Sejak kepulangan mereka dari Bandung, pikirannya yang selama ini selalu diliputi rasa bersalah, semakin tersudut. Kesedihan dan penderitaan yang dialami Aliya seperti cambuk panas yang setiap hari dihantamkan ke tubuhnya.
Begitu ingin dia mengakhiri penderitaan Aliya, misalnya dengan menunjukkan alamat Sumi agar Aliya bisa menemuinya. Tapi, adilkah ini bagi Sumi? Bisa jadi saat ini Sumi belum siap untuk bertemu dengan Aliya. Selain itu, Aliya dan Dion tentu akan bertanya-tanya pula cara dia mengetahui alamat Sumi. Alasan apa yang dimilikinya untuk menjelaskan hal itu?
Laki-laki 40 tahunan itu tiba-tiba merasakan matanya masah. Hal yang sudah lama tak dialaminya. Selama ini dia selalu berusaha bersikap tegar. Bersikap rasional sambil terus berusaha menemukan Sumi. Kali ini dia kalah. Dia tak bisa lagi menahan rasa sesak di dadanya. Dia melihat dengan senyata-nyatanya begitu banyak luka yang dia ciptakan bagi orang-orang yang seharusmya dibahagiakannya. Dia biarkan air mata itu luruh dan kian menderas.
Malam sudah hampir berakhir, Doni belum juga tertidur. Geliat kehidupan mulai terasa. Deru kendaraan yang melintas semakin sering terdengar. Muazin pun telah pula mengumandangkan azan subuh. Dia berusaha bangkit dari pembaringannya tetapi, kemudian kembali rebah. Tiba-tiba dia merasakan kepalanya nyeri dan tubuhnya tanpa daya. Dicobanya kembali bangkit, kali ini dengan perlahan dan hati-hati. Sambil berpegangan ke dinding dia menuju kamar mandi yang berada di sisi kiri ruang tidur yang ditempatinya kemudian berwudhu dan solat subuh.
Usai solat, Doni tidak segera bangkit. Dia terus duduk sambil memanjatkan doa dengan khusyuk. Air matanya lagi-lagi tiada terbendung.
“Ya, Allah. Ijinkan hamba menyelesaikan semua urusan ini. Beri hamba petunjuk agar bisa membebaskan orang-orang yang hamba sayangi dari penderitaan yang tengah mereka rasakan. Semua yang terjadi pada mereka karena dosa-dosa hamba. Bantulah hamba ya, Allah. Bantulah hamba agar bisa terbebas dari rasa bersalah yang menyakitkan ini” Doa itu diucapkannya berulang-ulang dan terus menerus hingga tubuhnya semakin lemah dan akhirnya terhuyung lalu tergeletak di atas sajadah.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H